Pertempuran terus berkecamuk di ibu kota Sudan pada hari Minggu (16/4/2023) meski sudah disepakati adanya gencatan senjata kemanusiaan selama tiga jam. Dua pihak yang bertikai, Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF) sebelumnya setuju untuk melakukan gencatan senjata. Gencatan senjata diusulkan oleh PBB setelah tiga stafnya menjadi korban. Setidaknya 61 warga sipil termasuk tiga staf PBB tewas sejak Sabtu, membuat Program Pangan Dunia PBB untuk sementara menghentikan operasi. Kedua belah pihak yang bertikai mendukung perjanjian perdamaian bergulir yang diusulkan PBB, tetapi para saksi melaporkan kekerasan terus berlanjut.
Konflik di Sudan terjadi adalah antara Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) milik pemerintah dan paramiliter Rapid Support Forces (RSF), milisi yang sebelumnya digunakan pemerintah untuk mengatasi konflik di dalam dan luar negeri. Pemerintah Sudan dijalankan oleh dewan jenderal sejak kudeta pada Oktober 2021. Pada Desember 2022, kelompok sipil yang dikesampingkan oleh kudeta menandatangani kesepakatan awal dengan militer untuk memulai transisi politik baru selama dua tahun dan menunjuk pemerintahan sipil. Namun muncul perselisihan mengenai apakah tentara akan ditempatkan di bawah pengawasan sipil dalam pemerintahan baru, dan bagaimana RSF akan diintegrasikan ke dalam angkatan bersenjata.
Presiden de facto negara itu, Abdel Fattah al-Burhan, mengepalai angkatan bersenjata Sudan (SAF). Saingannya, adalah Jenderal dan Wakil Ketua Dewan Kedaulatan Transisi yang berkuasa, Mohamed Hamdan Dagalo, kepala RSF yang memiliki pasukan sekitar 100.000 orang. Kedua belah pihak saling menuduh memulai konflik, dan memberi isyarat bahwa mereka tidak mau bernegosiasi. Pemerintah menyerukan agar RSF dibubarkan. Sementara Dagalo meminta saingannya untuk menyerah. Para diplomat top, termasuk Sekretaris Negara AS, sekretaris jenderal PBB, kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, ketua Liga Arab dan ketua Komisi Uni Afrika mendesak kedua pihak untuk berhenti berperang.