Negara-negara importir minyak kelapa sawit mentah (CPO) Asia yang tergabung dalam Asian Palm Oil Alliance (APOP) mendesak negara-negara penghasil sawit untuk membuat kebijakan ekspor yang stabil. Hal itu perlu dilakukan agar importir memiliki kepastian saat melakukan transaksi. Adapun sejumlah negara yang tergabung dalam APOP antara lain India, Pakistan, Bangladesh, Nepal dan Sri Lanka. Ketua APOP Atul Chaturvedi mengatakan negara importir telah membangun kilang untuk memproses CPO. Namun, negara produsen mengenakan bea ekspor yang lebih tinggi untuk CPO dibanding bea masuk untuk produk yang disuling. Ini membuat pembelian minyak sawit olahan lebih murah dari CPO.
Direktur Godrej International India Dorab Mistry mengatakan produsen utama sawit, yakni Indonesia dan Malaysia, perlu menyadari negara-negara Asia adalah pelanggan terpercaya mereka. Para pembeli Asia juga tak pernah membuat masalah pada industri sawit. Menurutnya, perubahan kebijakan ekspor yang tiba-tiba seperti larangan ekspor oleh Indonesia tahun lalu, tidak hanya mengganggu rantai pasokan di negara importir, tetapi juga merugikan produsen. Bagaimana tidak, Indonesia harus menghadapi komplain dari pelanggan sembari memikirkan strategi lain untuk menutupi kekurangan pasokan.
Sementara itu, Presiden Asosiasi Ekstraktor Solvent India Ajay Jhunjhunwala produsen CPO besar seperti Indonesia dan Malaysia cenderung menanggapi banyak tuntutan dari Eropa, dibanding memperhatikan kebutuhan pasar di Asia yang pembeliannya justru besar. “Uni Eropa menyumbang kurang dari 9 persen dari impor CPO global. Pembeli Asia menyumbang sekitar 40 persen, tetapi produsen mencoba memenuhi tuntutan Eropa dan mengabaikan pembeli Asia,” katanya. Pada Desember 2022, Uni Eropa mengesahkan Undang-Undang Deforestasi, yang mengharuskan perusahaan untuk menghasilkan pernyataan uji tuntas dan memberikan informasi yang dapat diverifikasi bahwa komoditas, termasuk kelapa sawit, tidak ditanam di tanah hasil pembabatan hutan setelah 2020.