Anggota KPU, Betty Epsilon Idroos, mengatakan, KPU tidak akan memberikan data warga yang akan menjadi sasaran pencocokan dan penelitian atau coklit. Sebab, data coklit merupakan alas data dan zero sharing data policy sehingga tidak bisa dibagikan kepada pihak lain, termasuk Bawaslu. Data yang dijadikan acuan untuk coklit merupakan output dari sinkronisasi antara data penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) dari Kementerian Dalam Negeri dengan daftar pemilih berkelanjutan KPU yang berasal dari daftar pemilih tetap di pemilu sebelumnya.
Bawaslu tetap mendapatkan akses nomor induk kependudukan (NIK) daring dari Kemendagri untuk melakukan pengecekan data coklit. Bawaslu pun bisa meminta data DP4 yang menjadi basis data coklik KPU ke Kemendagri sebagai pemilik data. Pihaknya hanya bisa membagikan data ke Bawaslu berupa daftar pemilih sementara (DPS), daftar pemilih sementara hasil perbaikan (DPSHP), dan daftar pemilih tetap (DPT). Tenaga Ahli Bawaslu, Iji Jaelani, mengatakan untuk menyiasati keterbatasan data, lanjutnya, Bawaslu melakukan uji petik di daerah-daerah yang warganya rentan kehilangan hak pilih, seperti wilayah tapal batas, pemilih pemula, dan kelompok disabilitas.
Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati menilai, masalah keterbukaan informasi publik menjadi hal yang sangat krusial. Dengan minimnya data yang dimiliki, bisa berdampak pada Bawaslu tidak bisa melakukan pengawasan secara komprehensif. Validitas, akurasi, keabsahan hasil coklit, termasuk penyusunan DPT tidak bisa komprehensif. Menurut Neni, uji petik yang dilakukan oleh Bawaslu tidak akan cukup mewakili pengawasan tahapan coklit karena sampel yang diambil sangat terbatas.