Industri Rokok Tolak Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012

Industri rokok menolak rencana revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, yang dinilai mencederai industri hasil tembakau. Revisi tersebut juga dipandang memiliki muatan kepentingan politik. Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wahyudi mengatakan, PP 109/2012 yang berlaku saat ini masih mumpuni dan sudah tepat dalam mengatur ekosistem pertembakauan dengan baik. Poin-poin revisi yang didorong oleh Kementerian Kesehatan secara jelas sudah tercantum dalam PP 109/2012 yang berlaku saat ini. Benny menjelaskan, PP 109/2012 yang berlaku saat ini telah mengatur berbagai desakan yang dilontarkan oleh Kementerian Kesehatan. Misalnya, Pasal 23 yang telah menyebutkan tentang pelarangan penjualan produk tembakau kepada anak di bawah usia 18 tahun, Pasal 49 yang menjelaskan pengaturan Kawasan Tanpa Rokok, Pasal 31 yang mengatur secara rinci tentang iklan ruangan, Pasal 37 yang mengatur secara ketat terkait merek ataupun aktivitas produk, serta Pasal 47 yang mengatur terkait sponsorship.

Gaprindo dan para anggotanya berkomitmen untuk tidak menjual rokok ke anak di bawah umur 18 tahun. Kami juga berperan aktif dalam upaya ini melalui program Cegah Perokok Anak. Upaya serupa untuk mencegah akses penjualan dan pembelian rokok kepada anak-anak yang bersifat kolaboratif harus digalakkan lagi, dan dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh lapisan masyarakat, mulai dari orang tua, tenaga pendidik, pedagang, pihak swasta, hingga pemerintah, ungkap Benny. Benny mengatakan, saat ini industri rokok dalam kondisi yang mengenaskan. Hal ini terlihat dari penurunan produksi rokok secara signifikan dari tahun ke tahun. Pada 2019, produksi rokok masih mencapai 15,2 miliar batang, tetapi turun signifikan menjadi 10,5 miliar batang pada 2022. Penurunan terjadi selama tiga tahun, dengan rata-rata per tahunnya turun 11,55%. Padahal, rokok berkontribusi besar terhadap penerimaan negara, utamanya lewat cukai hasil tembakau atau cukai rokok. Hingga 2022, kontribusi cukai rokok kepada penerimaan negara telah mencapai Rp 218,62 triliun.

Senada dengan Benny, Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Henry Najoan menegaskan, PP 109/2012 yang berlaku saat ini masih relevan untuk diterapkan, meskipun pelaksanaannya masih banyak kekurangan. Pemerintah seharusnya mengutamakan dan memperkuat aspek sosialisasi, edukasi, serta penegakan implementasi. Henry menilai, usulan revisi PP 109/2012 lebih mengarah kepada pelarangan, bukan pengendalian. Hal ini dapat membuat kelangsungan iklim usaha IHT, sebuah usaha yang legal, menjadi semakin restriktif di Indonesia. Padahal, kalau mengacu kepada ketentuan perundangan-undangan, seharusnya ditekankan pada pengendalian, bukan pada pelarangan.

Search