Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) Budhi Wibowo mengatakan, rata-rata utilitas produksi industri pengolahan ikan nasional saat ini hanya 50-60% dari total kapasitasnya, balikan ada yang di bawah itu. Total kapasitas produksi industri pengolahan ikan nasional mencapai 2,77 juta ton per tahun, namun pada 2020 utilitasnya hanya 58%. Para pengolah ikan mengalami kekurangan bahan baku karena bahan baku ikan di Indonesia itu mahal karena minim, contoh udang Rp 10 ribu per kilogram (kg) lebih tinggi dibanding di Ekuador atau Rp 5.000 per kg lebih tinggi dibanding di India. Dampaknya, menjadi sulit bersaing di negara-negara importir karena kalah harga. Jadi, kalau bicara perikanan, masalah utamanya sebenarnya bukan di hilir, tapi di hulu, kata Budhi. Karena itu, masalah paling mendesak yang harus dilakukan saat ini apabila pemerintah ingin menggenjot hilirisasi di sektor kelautan dan perikanan adalah memperkuat lebih dulu industri hulunya. Menurut AP5I, penguatan industri hulu guna menjamin suplai bahan baku bagi industri hilir bisa dilakukan dengan mempermuah perizinan, mengurangi aturan-aturan yang memberatkan sektor hulu, di antaranya menuntaskan revisi PP No 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan membenahi infrastruktur. Jadi, suplai ikan ke pabrik-pabrik pengolahan itu sangat kurang, itu harus diperbaiki dulu supaya suplainya bertambah dan bisa bersaing.
Budhi Wibowo yang juga Ketua Federasi Asosiasi Perikanan Indonesia (FAPI) menjelaskan, permintaan untuk merevisi PP No 85 Tahun 2021 tidak hanya berasal dari pelaku usaha yang tergabung dalam AP51 namun juga pelaku usaha lainnya. PP tersebut dinilai memberatkan pelaku usaha hulu di bidang perikanan tangkap, khususnya para nelayan. Belum lama ini, pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah menyatakan siap merevisinya dengan menurunkan indeks tarif, namun hinggakini belum ada tindak lanjut dari proses tersebut. Prinsipnya, semakin banyak kapal penangkap ikan yang melaut, suplai bahan baku ke kami akan bertambah. Pun dari sisi infrastruktur, seperti perbaikan pelabuhan dan jalan, diperlukan untuk mendukung perikanan tangkap, tutur dia. Sedangkan di perikanan budi daya, perbaikan saluran irigasi harus segera dilakukan agar tambak tradisional lebih berkembang, selama ini banyak muara sungai yang tidak pernah dikeruk.
Menurut Budhi, pelaku usaha mendukung langkahhilirisasi yang sedang digaungkan pemerintah, termasuk di sektor kelautan dan perikanan. Namun, hilirisasi di sektor kelautan dan perikanan harus dipilah dengan menyesuaikan keinginan konsumen, ini karena industri itu bersifat spesifik. Ada jenis ikan yang harus dijual hidup karena kalau hidup sangat mahal dan begitu mati harganya anjlok, misalnya lobster, mau dihilirkan malah rugi. Kalau AP5I mainnya di frozen atau yang sudah dibekukan, di sini juga tidak semua ikan utuh, ada yang harus difilet dengan diambil dagingnya, ada yang harus diberi bumbu, dan sebagainya. Jadi, hilirisasi perikanan itu harus betul-betul ada pemilahan, sangat spesifik, tergantung konsumen dan pasarnya. AP5I sendiri terus berupaya menambah produk-produk bernilai tambah dengan mengolah lebih lanjut, tapi kembali lagi tidak semua jenis ikan yang diolah bisa bertambah nilainya, sehingga jenis ikan dan kebutuhan konsumen sangat diperhatikan. Dia juga menjelaskan, sejauh ini, tidak ada kendala dari sisi pembiayaan yang dihadapi oleh pelaku usaha industri pengolahan ikan nasional. Kendala pembiayaan justru dihadapi pelaku usaha hulu perikanan khususnya nelayan dalam mengakses pembiayaan kredit usaha rakyat (KUR) yang harus menyertakan agunan apabila ingin mendapatkan pinjaman hingga Rp 100 juta. Hal inilah yang mungkin perlu dibantu oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar nelayan bisa bebas agunan. Selain itu, pemerintah sepertinya perlu turun tangan dalam menyediakan pabrik-pabrik es yang dibutuhkan para nelayan terutama di pulau-pulau terpencil, tutur dia.