Kisah Tragis Riset Deteksi Tsunami

Peneliti Teknik Kelautan Wahyu Widodo Pandoe punya cerita miris soal nasib riset dan anggaran yang cekak usai kehadiran Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Saking cekaknya anggaran, buoy, resminya bernama InaBuoy, yang berguna sebagai pendeteksi tsunami pun tak diakomodasi. InaBuoy digunakan salah satu alat pendeteksi tsunami dalam program Indonesia Tsunami Early Warning System (INA TEWS) garapan BRIN. Tiga alat lainnya yaitu Cable Based Tsunami meter (InaCBT), Indonesia Coastal Acoustic Tomography (InaCAT), Indonesia Tsunami Observation Center (InaTOC).

Sebelumnya, program ini merupakan garapan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Namun program tersebut beralih usai BPPT dilebur bersama sejumlah lembaga riset lainnya menjadi BRIN. “Sekarang buoy tidak ada yang jalan karena tidak ada anggaran. Terakhir pemasangan tahun lalu,” kata Wahyu. Sebelum dipakai, buoy terlebih dahulu menjalani tes sebelum ditaruh di lautan untuk mendeteksi tsunami. “Dibuatnya di PT PAL supaya masuk ke industri. Lalu ke Jakarta dikirim ke kapal berangkat ke laut tapi dites dulu. Prosedurnya ada, prosedur baku untuk tes macem-macem,” kata Wahyu. Alat ini merekam data perubahan tekanan air menggunakan sensor. Data tersebut dikirim menggunakan gelombang akuatik ke satelit yang kemudian diterima oleh Indonesia Tsunami Observation Center (Ina TOC) di Gedung Soedjono Djoenoed Poesponegoro di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta. Sayangnya, kantor itu kosong dan tak ada aktivitas sejak BRIN menghentikan anggaran untuk InaTEWS. Buoy yang ditempatkan di lautan pun terbengkalai. Padahal, Wahyu menuturkan semula ada 14 unit buoy yang rencananya dibuat dengan 10 untuk beroperasi dan empat untuk cadangan. “Jadi setiap kita datang ke lokasi, angkat yang lama ganti yang baru,” kata Wahyu. Wahyu menuturkan, ada buoy yang seharusnya sudah diambil pada 2022 namun tidak dilakukan “karena ketiadaan anggaran”. “Kenapa harus diambil? Baterai ya 1 tahun sekali harus diganti, paling lambat 18 bulan. Tapi itu sudah lewat semua,” katanya. Laporan terakhir pun mencatat, buoy yang ada di barat Bengkulu menjadi yang terakhir beroperasi pada Agustus 2022. Padahal, ada enam buoy yang terpasang pada 2021 di Sumba, Denpasar, Malang, Cilacap, Selat Sunda dan Bengkulu. Kondisi tersebut membuat Wahyu prihatin. Pria yang sudah aktif di Early Warning System (EWS) sejak 2006 itu menilai anggaran yang ada saat ini tidaklah cukup.

Mengutip situs resmi DPR, pagu anggaran BRIN pada 2022 sebetulnya mencapai Rp6,3 triliun. Namun, dalam rapat bersama Komisi VII DPR, Senin (30/1), Rp4 triliun dari anggaran tersebut dipakai untuk operasional belanja pegawai. “Dari awal, memang kita sudah mengkritik, bahwa keberpihakan postur anggaran BRIN pada riset negara kita masih minim sekali,” kata Wakil Ketua Komisi VII DPR Maman Abdurrahman. Karena dari anggaran total Rp6,38 triliun, 4 triliun-nya full dipakai untuk operasional belanja kepegawaian. Kritik Maman itu dibenarkan oleh Wahyu. Menurutnya, anggaran yang besar pasca-peleburan sejumlah badan riset ternyata tidak berdampak signifikan. “Dulu rencana digabung dan hasilnya anggaran besar ternyata enggak signifikan juga. Artinya anggaran Rp6,3 triliun, jumlah dari enam entitas lembaga yang dilebur. Artinya Rp4 triliun itu hanya untuk operasional kantor dan operasional riset yang kecil. Jadi enggak ada gaungnya, beda dengan ketika kita di BPPT dulu,” katanya. Selain itu, Maman menyebut ada perbedaan orientasi antara BPPT dan BRIN saat ini. Di BPPT, penelitian yang dibuat berorientasi kepada produk yang bisa diimplementasikan. Sementara sekarang tidak banyak kelihatan di hilir, tetapi banyak riset yang di hulu.

Search