Menilik Penyebab Harga Minyak Goreng Melambung, karena Biodiesel B35?

Harga minyak goreng curah dan minyak goreng subsidi Minyakita melonjak di atas Harga Eceran Tertinggi atau HET. Minyakita pun kini langka di pasar tradisional. Kelangkaan tersebut terjadi jelang implementasi Biodiesel 35% atau B35 yang akan dimulai hari ini, Rabu (2/1). B35 merupakan campuran biodiesel dari fatty acid methyl ester atau FAME minyak kelapa sawit sebesar 35% ke dalam komposisi BBM jenis diesel. Selain solar, impementasi B35 juga dilakukan pada BBM non-subsidi Dexlite.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan jika kelangkaan Minyakita terjadi karena bahan baku minyak goreng berkurang akibat program B35. Namun demikian, hal itu dibantah oleh Menteri Koordinator Airlangga Hartarto.

Direktur Eksekutif Institute for development and Finance atau Indef, Ahmad Tauhid, mengatakan ada tiga kemungkinan penyebab harga minyak goreng mahal, yaitu:

  1. Program B35 dongkrak harga CPO
    Tauhid mengatakan jika program B35 membutuhkan 13,5 juta Kl CPO. Itu berarti lebih tinggi hampir 2 juta ton Kl dibandingkan program B30 yang berlaku sebelumnya yaitu sebesar 11,65 juta Kl. Dia mengatakan, penambahan pasokan B35 tersebut kemungkinan besar akan mengambil dari kuota ekspor. Hal itu akan mendongkrak harga CPO. Industri memang memiliki cadangan CPO sebesar 3-4 juta per bulan, namun akan berisiko jika mengambil dari sana. Pabrik kelapa sawit kemungkinan mengambil harga lelang saat harga CPO terdongkrak karena B35. Kondisi tersebut menyebabkan harga minyak goreng menjadi ikut naik.
  2. Persoalan rantai distribusi
    Tauhid mengatakan, harga minyak goreng yang mahal juga bisa disebabkan rantai distribusi yang tidak efisien. Biaya logistik dan juga perdagangan dari produsen ke konsumen sangat tinggi sehingga harga minyak goreng menjadi naik.
  3. Tekanan DMO
    Tauhid mengatakan, kenaikan harga atau kelangkaan minyak goreng subsidi bisa disebabkan oleh alokasi domestic market obligation atau DMO yang tidak terpenuhi dari target. Sebagai informasi, alokasi minyak goreng subsidi berasal dari DMO sebagai syarat produsen CPO melakukan ekspor. Selain itu, ekspor yang berkurang akibat prgram B35 juga menyebabkan alokasi CPO untuk DMO menjadi turun. Dengan demikian, jumlah produksi minyak goreng subsidi pun turun. Oleh sebab itu, Tauhid mengatakan, pemerintah perlu mengawal kepatuhan eksportir CPO terhadap aturan DMO. Pemerintah juga perlu menyiapkan early warning system setiap rantai distribusi di pasar tradisional. Pemerintah juga perlu menambah pasokan minyak goreng karena permintaannya akan meningkat jelang Ramadhan.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diterima redaksi Katadata, Indonesia mengekspor minyak sawit seberat 25,01 juta ton sepanjang 2022. Angka tersebut turun 2,4% dibanding 2021, yang total volume ekspornya mencapai 25,62 juta ton. Negara yang paling banyak membeli minyak sawit Indonesia pada 2022 adalah India, dengan volume 4,99 juta ton.

Search