Amerika Serikat (AS) tidak memiliki persediaan amunisi yang cukup atau kapasitas industri untuk mengisinya kembali dalam konfrontasi militer besar-besaran dengan China. Pernyataan ini disampaikan sebuah think tank AS, mengutip serangkaian latihan perang yang dilakukan negara itu. Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) yang menjalankan simulasi, telah mendesak Pentagon untuk menimbun senjata dan bahan untuk memproduksinya, serta memberi insentif kepada produsen untuk membangun fasilitas baru dengan menawarkan persyaratan yang lebih baik.
CSIS, sebuah organisasi nirlaba yang mencantumkan kontraktor pertahanan utama di antara donornya, telah mengkritik keadaan industri pertahanan AS ‘tidak memadai untuk lingkungan kompetitif saat ini’. Negara kehabisan senjata tertentu dalam simulasi, termasuk rudal Javelin dan Stinger, howitzer 155 mm dan radar kontra-artileri. Hal itu karena persenjataan itu telah dikirim ke Ukraina. Dalam potensi konflik dengan China terkait Taiwan, yang dinilai CSIS dapat pecah dengan hanya sedikit waktu persiapan, skenario ini dapat direplikasi.
Think tank memperkirakan bahwa LRASM, Rudal Anti-Kapal Jarak Jauh, akan menjadi sangat penting jika Angkatan Laut (AL) China memberlakukan blokade terhadap pulau yang diperintah sendiri itu. CSIS mencatat, AS menghabiskan inventaris senjata-senjata itu pada minggu pertama di setiap iterasi konflik yang dimodelkan, sedangkan waktu untuk memproduksi senjata adalah dua tahun. Laporan tersebut mengidentifikasi sejumlah kelemahan mendasar, termasuk status Pentagon sebagai satu-satunya pembeli senjata dan aturan akuisisinya yang memprioritaskan ‘efisiensi dan pengendalian biaya terkait kecepatan dan kapasitas’.