Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa neraca perdagangan Indonesia pada Desember mengalami surplus. Surplus per Desember mencapai US$ 3,86 miliar, turun dibandingkan November 2022 dan naik dari posisi Desember 2021. Sementara, kalau melihat data cadangan devisa RI masih jauh dari rekor tahun 2021.
Berdasarkan data tersebut, Surplus tersebut jauh lebih rendah dibandingkan November 2022 yang mencapai US$ 5,16 miliar sekaligus mencatatkan posisi terendah sejak Juni 2022 padahal Indonesia melarang ekspor CPO pada bulan tersebut. Surplus terdiri dari perdagangan nonmigas yang mencapai US$ 5,61 miliar. Sementara defisit dari perdagangan migas US$ 1,73 miliar. Dengan ini, surplus ini masih melanjutkan tren surplus bulanan 32 beruntun sejak Mei 2020.
Sementara, data cadangan devisa Indonesia, Bank Indonesia (BI) mencatat posisinya pada akhir Desember 2022 mencapai US$137,2 miliar. Angka ini naik 2,38% dibandingkan dengan posisi pada akhir November 2022 sebesar US$ 134,0 miliar. Namun perlu diketahui, BI mengungkapkan bahwa peningkatan posisi cadangan devisa pada Desember 2022 antara lain dipengaruhi oleh penerimaan pajak dan jasa, serta penarikan pinjaman pemerintah. Dengan demikian, bisa dipastikan cadangan devisa pada Januari 2023 juga akan ditopang oleh penarikan utang. Sumber kenaikan devisa ini tidak mencerminkan kuatnya ekspor. Padahal, Indonesia telah mencetak surplus neraca perdagangan 31 bulan beruntun dengan nilai ekspor menyentuh US$ 609,1 miliar atau lebih dari Rp 9.500 triliun.
Nilai ekspor yang besar tersebut tidak membuat cadangan devisa gendut, pada kenyataannya nilainya justru jauh dari rekor US$ 144,78 miliar pada Agustus 2021. Penurunan posisi cadangan devisa sejak Oktober 2022 dipengaruhi oleh utang luar negeri (ULN) pemerintah dan kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah sejalan dengan meningkatnya ketidakpastian kondisi ekonomi global.