Perekonomian global dinilai sudah mulai menunjukkan tanda-tanda menuju perbaikan. Hal itu terlihat pada sinyal dari dua negara ekonomi terbesar dunia khususnya Amerika Serikat (AS) dengan penurunan inflasi. Begitu pula di Tiongkok sebagai ekonomi terbesar kedua dunia yang mobilitas penduduknya sudah mulai meningkat setelah kebijakan zero Covid-19 ditangguhkan. Tingkat inflasi tahunan AS pada Desember 2022 mengalami penurunan menjadi 6,5 persen secara tahunan atau year on year (yoy) setelah sempat mencapai puncaknya 9,1 persen pada Juni tahun lalu. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan kenaikan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) nampaknya sudah mulai menunjukkan hasil. Penurunan inflasi itu terutama didorong oleh terkoreksinya harga bensin dan kendaraan bermotor. Pejabat the Fed Philadelphia, Patrick Harker, menyambut baik penuruan itu dan berharap kenaikan Fed rate bulan depan lebih kecil dari sebelumnya yakni menjadi 25 basis point (bps).
Guru Besar Keuangan dan Ekonomi Universitas Loyola Marymount di Los Angeles, Sung Won Sohn, menilai langkah yang dilakukan the Fed sudah mulai berbuah meskipun tingkat inflasi tersebut masih jauh dari target 2 persen. “Puncak gunung inflasi sudah dilewati. Pertanyaan sekarang adalah seberapa curam penurunan ke depan,” kata Sohn. The Fed pada tahun lalu, telah menaikkan suku bunga 425 basis points (bps) atau 4,25 persen ke kisaran 4,25- 4,50 persen atau tertinggi sejak akhir 2007. Pada Desember, Fed memproyeksikan setidaknya akan ada kenaikan tambahan 75 bps hingga akhir 2023. Pasar keuangan memperkirakan kenaikan suku bunga 25 bps pada pertemuan the Fed 31 Januari-Februari.
Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudisthira, mengatakan indikator ekonomi yang membaik di negara tujuan ekspor utama Indonesia seharusnya menjadi momentum untuk lakukan penetrasi perdagangan. Apalagi, banyak perusahaan terutama industri tekstil, pakaian jadi dan alas kaki, kata Bhima, marak merumahkan karyawannya karena lesunya permintaan dari pasar Eropa dan AS. Ketika peluang terbuka kembali, tantangan muncul saat pelaku usaha ingin mengembalikan kapasitas produksi. Mereka membutuhkan modal yang besar, sementara suku bunga naik berdampak ke cost of financing. “Di sini pentingnya intervensi pemerintah dengan memberi fasilitas pembiayaan terjangkau ke pelaku usaha padat karya berorientasi ekspor,” ungkap Bhima. Solusi berikutnya untuk manfaatkan momentum pemulihan ekonomi di negara maju dengan meningkatkan promosi investasi. “Banyak proyek yang bisa dijadikan sebagai pintu masuk investasi, misalnya transisi energi, hingga jasa pariwisata,” pungkas Bhima.