Otoritas Jasa Keuangan (OJK) optimistis perbankan ke depan akan lebih resilient dalam menghadapi tingginya ketidakpastian perekonomian global yang diproyeksi melanda pada 2023. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menyampaikan bahwa kinerja industri perbankan selama 2022 terjaga baik dan tumbuh positif serta mampu menahan tekanan perekonomian global.
Sebelumnya, sepanjang tahun 2022 OJK telah meluncurkan sejumlah kebijakan kepada industri perbankan dan pelaku usaha, antara lain perpanjangan restrukturisasi kredit dan beberapa kebijakan lain dalam upaya menghadapi dampak penyebaran Covid-19, program percepatan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB), serta relaksasi restrukturisasi kredit terhadap debitur yang terkena dampak wabah penyakit mulut dan kuku (PMK). Selain itu, bauran kebijakan dari Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan telah memberikan situasi dan kondisi ekonomi yang kondusif.
Mengacu pada data OJK, pada November 2022 kredit perbankan tumbuh 11,16 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) sedangkan penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) tumbuh sebesar 8,78 persen (yoy). Di samping itu, rasio AL/NCD dan AL/DPK masing-masing sebesar 134,97 persen dan 30,42 persen yang juga diikuti tren penurunan risiko kredit yang tercermin dari rasio NPL baik gross dan nett masing-masing sebesar 2,65 persen dan 0,75 persen, sementara itu Loan at Risk sebesar 15,12 persen. OJK juga akan melanjutkan konsolidasi perbankan terutama terhadap perbankan syariah, Bank Pembangunan Daerah dan BPR/BPRS melalui pembentukan Kelompok Usaha Bank (KUB) yang dapat memenuhi kebutuhan likuiditas dan permodalan serta tercipta sinergi dalam perluasan produk dan layanan perbankan, penguatan tata kelola dan infrastruktur (teknologi dan SDM), peningkatan customer base. “Sedangkan akselerasi konsolidasi BPR/BPRS dilakukan melalui skema penggabungan usaha, pembentukan holding terhadap BPR/BPRS dengan kepemilikan yang sama, pembentukan Anchor Bank bagi BPR/BPRS milik Pemda, dorongan kepada pemilik untuk melakukan self-liquidation dalam hal tidak mampu mengembangkan BPR/BPRS dan implementasi exit policy,” tambah OJK.