Isu PHK masih merebak, terutama di sektor industri padat karya berorientasi ekspor. Solusi preventif perlu menyasar aspek ketenagakerjaan dan kelangsungan industri. Melihat fenomena PHK harus dari dua sisi, yaitu mencegah agar tidak merebak dan saat PHK telanjur terjadi. Pemerintah tetap perlu mengeluarkan insentif bagi pekeija dan pengusaha. Namun, hal yang lebih penting sekarang adalah mengeluarkan upaya preventif agar jangan sampai gelombang PHK merebak tahun 2023, ujar Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal, di Jakarta. Insentif pencegahan bisa menyasar ongkos produksi dan diberikan kepada pengusaha saat memulai tahap produksi. Dengan demikian, insentif pemerintah bukan melulu berupa pengurangan pajak pada pascaproduksi. Syarat mengakses insentif juga dipermudah agar banyak pengusaha bisa memanfaatkan. Adapun insentif bagi pekerja, seperti program Kartu Prakerja, seharusnya tetap digencarkan.
Sebelumnya, Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Indah Anggoro Putri mengatakan, tidak semua industri padat karyaberorientasi ekspor. Di tengah tekanan ekonomi global, ada sejumlah industri padat karya berorientasi ekspor yang bertahan. Ada pula yang sebaliknya. Kemenaker sedang mengkaji peraturan dan kebijakan ketenagakerjaan yang tepat untuk mengatasi fenomena itu. Senior Program Officer Organisasi Buruh Internasional (ILO) Lusiani Julia menyampaikan, konvensi internasional tidak mengenal prinsip no work no pay. Akan tetapi, praktik atas prinsip itu sudah terjadi di beberapa negara. Dia berpendapat, langkah terbaik menghadapi isu resesi ekonomi global yang berdampak ke industri padat karya orientasi ekspor masih berupa dialog sosial untuk mencari cara mencegah PHK, baik dari sisi ketenagakerjaan maupun industri.
Memang, mau tidak mau pemerintah harus ikut campur. Pembuatan kebijakan harus segera dilakukan, tetapi semangatnya harus berkeadilan dan transparan. Bantuan subsidi upah (BSU), jaminan kehilangan pekerjaan (JKP), dan Kartu Prakerja bisa lebih dimaksimalkan lagi, ujar Lusiani.
Dibayar apabila bekerja
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Bidang Ketenagakerjaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nurdin Setiawan menjelaskan, no work no pay adalah istilah upah tidak dibayar apabila pekerja tidak masuk bekerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan. Menurut dia, hal itu telah diatur sejak Pasal 4 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah, lalu diganti Pasal 24 PP No 78/2015 tentang Pengupahan, dan Pasal 40 PP No 36/2021 tentang Pengupahan.
Dia mengatakan, perusahaan padat karya. berorientasi ekspor dan ekosistemnya saat ini memohon agar pemerintah membuat pengaturan tentang fleksibilitas waktu kerja karena industri ini sedang tidak baik-baik saja. Penyebabnya adalah penurunan permintaan 30-50 persen dari negara-negara tujuan ekspor, seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat, yang dipengaruhi oleh resesi ekonomi global, dampak geopolitik perang Rusia-Ukraina, dan stagflasi. Menurunnya order itu berakibat pada berkurangnya utilisasi sehingga pekerja tidak bekerja, sementara perusahaan harus tetap membayar upah.
Bagaimana agar perusahaan tetap sustain dan hubungan kerja pekerja tetap terjaga? Salah satu solusinya adalah pemberlakuan fleksibilitas waktu kerja, di mana jika ada order, pekerja tetap bekerja dengan upah dibayar. Namun, jika tidak ada order dan pekerja terpaksa diliburkan, perusahaan tidak bayar upah karena tidak bekerja dan menghasilkan output kata Nurdin perihal no work no pay yang diusulkan pengusaha padat karya sejak tahun lalu.
Menurut dia, API memohon kepada pemerintah untuk mengatur hal ini dalam bentuk regulasi. Sifatnya pun sementara sampai kondisi ekonomi kembali normal