Pengelolaan Sampah, Tanggung Jawab Siapa

Presiden Joko Widodo memberi arahan saat membuka Rapat Keija Nasional Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup, 21 Desember 2022, agar salah satu penggunaan dana lingkungan hidup diprioritaskan untuk pengelolaan dan penyelesaian sampah. Ada salah kaprah umum, seakan sampah adalah tanggung jawab dan urusan konsumen, masyarakat, dan pemerintah. Ini cara pikir keliru yang lebih menonjolkan pendekatan the end of pipe treatment, urusan sampah dan limbah adalah urusan di ujung pipa rantai produksi, rantai pasok, dan rantai konsumsi. Padahal, seharusnya, tanggungjawab penanganan dan pengelolaan sampah dimulai dari hulu produksi oleh produsen, yang dalam model ekonomi sirkuler dikenal sebagai extended producer responsibility (EPR). Demi mewujudkan EPR terkait sampah, sejak awal pemilihan proses produksi di industri, produsen harus memilih bahan baku dengan visi mengurangi, bahkan meniadakan sampah, demi keberlanjutan ekonomi (profit) dan ekosistem alam. Untuk itu, pertama, sejak awal dipilih bahan baku yang masuk kategori biologis, yaitu yang mudah terurai di alam. Kalaupun tak ada alternatif bahan baku biologis, apa boleh buat tetap memilih bahan baku teknis yang tak mudah terurai di alam (baja, besi, kaca, plastik, bahan-bahan kimia, misalnya), tetapi dengan menerapkan secara ketat prinsip 5 R {reduce, reuse, recycle, repair, refurnish). Untuk itu, EPR diwujudkan melalui pengembangan sistem traceability digital untuk melacak dan mengumpulkan kembali semua sampah yang dihasilkan produk manufaktumya dan dikembalikan ke produsen melalui titik-titik serah yang dibangun secara sistematis di beberapa wilayah, agar sampah tadi bisa digunakan kembali, diperbaiki, atau difabrikasi kembali menjadi produk baru. Kedua, sejalan dengan itu, EPR juga diwujudkan dalam kebijakan produksi berupa peningkatan produktivitas sumber daya alam (SDA) sebagai bahan baku. Jadi, setiap unit bahan baku dari SDA digunakan secara efisien dan efektif untuk menghasilkan produk yang punya nilai tambah setinggi mungkin sekaligus masa pakai selama mungkin untuk tak cepat rusak dan dibuang sebagai sampah.

Ini sejalan pula dengan langkah kedua tadi: tak selalu harus mengambil lagi bahan baku baru dari alam, tetapi bisa kembali menggunakan bahan baku bekas pakai yang ditarik dari konsumen. Dengan model ini, SDA tak harus terus dikeruk dan digunakan secara boros seakan gratis atau murah. Ketiga, sejalan dengan itu, baik pengerukan SDA sebagai bahan baku (deplesi SDA) maupun dampak lingkungan hidup berupa sampah diinternalisasi sebagai biaya atau beban (liability) yang diperhitungkan dalam akuntansi proses produksi dan bisnis industri. Ketika kedua aspek ini dimasukkan sebagai biaya, mau tak mau produsen akan terpaksa mengambil langkah-langkah untuk mengefektifkan produktivitas SDA ataupun bertanggung jawab mengurusi sampah dengan mengurangi dan meniadakan sejak perencana produksi dan bisnis.

Selain diterapkan sejak hulu proses produksi, EPR juga diterapkan dalam model bisnis sirkuler. Visi dasamya tetap sama: keberlanjutan ekonomi (profit) dengan tetap menjaga keberlanjutan ekosistem alam melalui pengurangan dan peniadaan sampah. Ada beberapa model bisnis sirkuler. Pertama, model bisnis produk tahan lama. Sejak awal rancangan produk, produsen memang sudah merancang secara visioner produknya untuk digunakan selama mungkin oleh konsumen, agar tak segera dibuang menjadi sampah. Kedua, model ini bisa dikombinasikan dengan model bisnis produk sebagai jasa untuk disewakan, dengan tanggung jawab merawat produk itu sebaik mungkin untuk digunakan selama mungkin agar tak segera rusak jadi sampah. Ketiga, model bisnis berbagi produk seperti co-working space atau berbagi gudang alat transportasi, dan sejenisnya. Daripada sendiri-sendiri punya produk/jasa tertentu dengan konsekuensi terus teijadi pengerukan SDA dan penumpukan sampah, lebih baik berbagi pemakaian dalam pemenuhan fungsi barang konsumsi tertentu. Keempat, model bisnis daur ulang, yaitu produk lama difabrikasi atau dimodifikasi seakan produk baru agar tidak segera dibuang sebagai sampah.

Untuk mendorong intemalisasi lingkungan hidup (SDA dan sampah) ke dalam model produksi dan model bisnis perusahaan, EPR perlu didukung kebijakan pemerintah melalui skema insentif dan disinsentif. Pajak deplesi SDA, pajak karbon, dan pajak limbah adalah contoh yang sudah umum diberlakukan untuk menyelamatkan Bumi ini dari kehancuran, termasuk untuk membereskan sampah sejak dari hulu. Insentif berupa pengurangan pajak tertentu atau skema pembiayaan bagi proses produksi, distribusi, dan model bisnis sirkuler bisa juga jadi pilihan yang menarik. Untuk itu, dana hijau lingkungan hidup yang dikelola Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup bisa menjadi opsi dalam pengelolaan dan penanganan sampah oleh industri sejak dari hulu. Skema kredit hijau yang murah bisa menjadi pilihan menarik untuk industri beralih ke model ekonomi sirkuler. Dengan model pengelolaan dan penanganan sampah yang meletakkan tanggung jawab utama pada produsen, keterlibatan pemerintah, pemda, dan masyarakat konsumen hanyalah komplementer. Masyarakat dan konsumen bisa terlibat memanfaatkan sampah untuk produk tertentu yang mendatangkan keuntungan, atau berkolaborasi dalam rantai pengumpulan sampah untuk dikembalikan kepada produsen.

Search