Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan berencana melakukan pembedaan tarif kereta rel listrik (KRL) berdasarkan status ekonomi penumpang. Penumpang dengan status kaya harus membayar tarif normal, sementara penumpang dengan status ekonomi rentan hingga miskin akan tetap mendapatkan subsidi. Meski seolah-olah memihak masyarakat kelas bawah, tetapi kebijakan tersebut menuai pro-kontra dari berbagai kalangan.
Menanggapi hal tersebut, pakar sosiologi Universitas Airlangga (Unair) Bagong Suyanto mengatakan bahwa penggolongan masyarakat berdasarkan kelas ekonomi sebenarnya merupakan hal yang biasa dalam penentuan kebijakan publik, terlebih lagi hal itu berkaitan dengan penyesuaian subsidi. Namun, pemerintah cenderung abai dengan realitas bahwa kelas sosial dan status ekonomi merupakan isu yang sensitif di Indonesia. “Sebetulnya sudah biasa dalam hal kebijakan dan layanan publik. Artinya, ada kelompok yang membayar lebih tinggi, ada pula yang membayar lebih rendah,” katanya dilansir dari laman Unair pada Kamis, 5 Januari 2022. Hanya saja, di Indonesia, status sosial-ekonomi masyarakat menjadi isu sensitif. Jadi, jika dibedakan dengan penggunaan istilah si kaya dan si miskin, Bagong mengatakan kemungkinan bisa menyakiti hati kalangan tertentu.
Berbagai pihak cenderung menyangsikan wacana perubahan tarif KRL tersebut. Tidak hanya dari efektivitasnya, tetapi juga dari aspek sosial, seperti potensi munculnya konflik horizontal di masyarakat. Meski demikian, Bagong beranggapan bahwa kebijakan itu tidak berpotensi menimbulkan konflik di masyarakat. Dengan status ekonomi yang dimiliki, kelas menengah ke atas sudah seharusnya memahami tujuan dari kebijakan tersebut. Sehingga, hal itu diharapkan dapat menekan terjadinya konflik dan gesekan di masyarakat.
Lebih lanjut, pemerintah justru perlu waspada terhadap munculnya reaksi berbeda dari golongan masyarakat dengan status ekonomi rentan hingga miskin. Penggolongan masyarakat miskin secara eksplisit dikhawatirkan akan menimbulkan rasa sakit hati. Menurut Bagong, penggunaan istilah ‘berdasi’, ‘si miskin’ dan ‘si kaya’ merupakan hal yang tidak perlu. Tidak heran apabila kebijakan itu menimbulkan berbagai reaksi lantaran penggunaan terminologi yang kurang tepat. Pemerintah hendaknya berhati-hati memilih terminologi yang lebih tepat sehingga tidak memicu ketersinggungan atau kegaduhan.