Taiwan: Pertaruhan Besar dalam Konflik AS dan China

Menjelang akhir tahun, nada bicara Presiden Taiwan Tsai Ing-wen semakin gamblang. “Kita hanya bisa mencegah perang dengan mempersiapkan diri terhadap perang,” kata dia dalam sebuah pidato penutup tahun 2022. “Tidak seorangpun menginginkan perang. Tapi perdamaian tidak datang dari langit,” imbuhnya. Jika Beijing berkeras memaksakan penyatuan kembali, perang adalah satu-satunya opsi. Dalam skenario ini, warga Taiwan mencari tauladan dari perang Ukraina melawan invasi Rusia. “Kami ingin menunjukkan kepada dunia internasional bahwa kami memiliki level keberanian yang sama untuk membela tanah air sendiri,” ujar Menteri Luar Negeri Taiwan Joseph Wu.

Pernyataannya itu sekaligus membiaskan pesan lain, bahwa serupa Ukraina, Taiwan hanya berpeluang melawan China jika mendapat dukungan militer, terutama dari Amerika Serikat (AS). Presiden AS Joe Biden menutup tahun 2022 dengan mengucurkan bantuan militer senilai 10 miliar dollar AS kepada Taiwan. Belakangan Biden kian terang-terangan mengaku siap menanggalkan doktrin ambiguitas strategis jika China menginvasi Taiwan.

Bagi Shelley Rigger, Guru Besar Studi Asia Timur di Davidson College, AS, demonstrasi politik di Washington justru semain membuat perang sulit dihindari. “Ketika AS dan China saling ancam, Taiwan terjebak di tengah,” imbuhnya. November silam, Biden dan Xi Jinping melakukan pertemuan pertama di sela-sela KTT G20 di Bali, Indonesia. Perjumpaan itu diharapkan bisa memulihkan stabilitas keamanan di kawasan. Menurut Kevin Rudd, mantan Perdana Penteri Australia, pertaruhan dalam konflik Taiwan bisa lebih besar ketimbang dalam perang melawan invasi Rusia di Ukraina.


Search