Kebijakan impor beras diyakini bakal merusak psikologis petani lantaran beberapa bulan lagi, setidaknya Februari 2023, akan ada panen raya. Apalagi, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) surplus beras pada akhir tahun diperkirakan bakal mencapai sekitar 1,7-1,8 juta ton. Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa mengatakan, angka tersebut belum ditambah dengan surplus beras tahun sebelumnya yang mencapai 5,7 juta ton, seperti data dari Badan Pangan Nasional (Bapanas).
Dwi Andreas juga menyoroti alasan dari kebijakan impor beras yang disebabkan stok cadangan beras pemerintah (CBP) di Bulog yang tipis. Pada saat diputuskannya impor, stok CBP Bulog saat itu (per 15 Desember) sebesar 440.000 ton. “Kita selalu mispersepsi soal masalah stok. Kelihatannya stok nasional dengan angka seperti tipis padahal tidak. Itu cadangan milik pemerintah, sedangkan sebagian besar lainnya ada di masyarakat, pedagang kecil, besar, di petani. Jadi beras ada di sana,” ujar Dwi. Berdasarkan data BPS, Kementerian Pertanian melaporkan produksi padi pada periode Oktober-Desember 2022 lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kenaikannya 15,06 persen atau setara 1,34 juta ton gabah kering giling (GKG). Total produksi padi 2022 diproyeksikan meningkat 2,31 persen (1,25 juta ton) dibandingkan 2021 sehingga secara kumulatif mencapai 55,67 juta ton.
Jika dikonversi ke beras, produksi tahun 2022 diperkirakan mencapai 32 juta ton, sementara kebutuhan konsumsi setahun sebesar 30,2 juta ton sehingga surplus mencapai 1,8 juta ton. “Kalau dihitung stok awal tahun seperti perhitungan Bapanas, itu malah lebih dari 6 juta ton. Nah, ngapain lebih 6 juta ton harus impor, kan nggak masuk akal,” ujar Dwi Andreas. Menurutnya, situasi akan menjadi bahaya jika beras impor tersebut baru masuk pada akhir Januari atau awal Februari. Pasalnya, pada bulan-bulan tersebut sudah mulai akan masuk kepada waktu panen raya dan dikhawatirkan akan membuat petani malah menjadi tercekik.