Hasil survei sejumlah lembaga selama setahun terakhir menunjukkan, pilihan publik terhadap tokoh potensial calon presiden 2024 sudah menetap. Tingkat elektabilitas Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, serta Menteri Pertahanan Prabowo Subianto tak pernah tergeser dari posisi tiga besar. Dengan tren dan tingkat elektabilitas tersebut sulit bagi tokoh potensial lain untuk mengejar tiga tokoh tersebut. PDI-P dan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang sudah memenuhi ambang batas pencalonan presiden, memiliki Puan Maharani dan Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto kerap disebut sebagai tokoh potensial capres. Akan tetapi, mengacu pola yang terjadi pada Pemilu 2014 dan 2019, parpol cenderung memrioritaskan pendekatan elektabilitas dalam mengusung capres.
Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan, tokoh potensial yang berasal dari parpol seperti Puan Maharani sulit menyaingi Ganjar, Anies, dan Prabowo karena harus menghadapi perubahan kecenderungan pemilih. Bagi pemilih muda, faktor “darah biru” politik tak lagi dianggap sebagai kelebihan karena pemimpin yang muncul dari bawah akan lebih diapresiasi. Yunarto menambahkan bahwa persaingan di antara mereka akan sengit karena sama-sama kuat.
Melihat elektabilitas capres belum ada yang mencapai 50 persen, sosok cawapres semakin penting, karena akan menjadi faktor komplementer. Sejumlah tokoh potensial cawapres pilihan publik pun mulai mengerucut. Meski capres dan cawapres pilihan publik sudah mulai mengerucut, namun belum ada satu pun parpol atau koalisi parpol yang menetapkan pasangan kandidat yang akan diusung. Saat ini, lobi-lobi pembentukan koalisi juga masih terus berjalan.