Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (DK PBB) menuntut diakhirinya kekerasan di Myanmar dan mendesak junta militer membebaskan semua tahanan politik, termasuk pemimpin terguling Aung San Suu Kyi. Desakan itu dikeluarkan dalam adopsi resolusi pertama DK PBB dalam 74 tahun pada Rabu (21/12/2022). Myanmar berada dalam krisis sejak tentara mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan terpilih Suu Kyi pada 1 Februari 2021. Pemimpin de facto Myanmar itu kemudian ditahan dan bersama para pejabat lainnya.
Junta militer Myanmar selanjutnya menggunakan kekuatan mematikan sebagai tanggapan atas protes dan perbedaan pendapat pro-demokrasi, “Hari ini kami telah mengirim pesan tegas kepada militer (Myanmar) bahwa mereka harus (mengakhiri kekerasan) – kami berharap resolusi ini dilaksanakan secara penuh,” kata Duta Besar Inggris untuk PBB Barbara Woodward setelah pemungutan suara pada resolusi yang dirancang Inggris. “Kami juga telah mengirim pesan yang jelas kepada rakyat Myanmar bahwa kami mencari kemajuan sesuai dengan hak, keinginan, dan kepentingan mereka,” kata Woodward kepada dewan PBB beranggotakan 15 orang itu.
DK PBB sudah lama terpecah tentang bagaimana menangani krisis Myanmar, dengan China dan Rusia menentang tindakan keras. Dua negara itu akhirnya memilih abstain dari pemungutan suara pada Rabu (21/12/2022), bersama dengan India. Sementara 12 anggota yang tersisa memberikan suara mendukung. Duta Besar Myanmar untuk PBB Kyaw Moe Tun, menilai ada elemen positif dalam resolusi tersebut. Meski demikian, kata dia, Pemerintah Persatuan Nasional yang terdiri dari sisa-sisa pemerintahan yang digulingkan akan lebih memilih teks yang lebih kuat. “Kami jelas ini hanya langkah pertama,” katanya kepada wartawan. “Pemerintah Persatuan Nasional meminta DK PBB (untuk membangun) resolusi ini untuk mengambil tindakan lebih lanjut dan lebih kuat untuk memastikan berakhirnya junta militer dan kejahatannya.”