Proses gasifikasi batu bara justru menghasilkan net emisi gas rumah kaca lebih besar sehingga program tersebut tidak konsisten dengan target penurunan GRK. Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) harus bebas dari penumpang gelap lantaran ada indikasi sejumlah pihak hendak menyelundupkan sejumlah pasal yang mengakomodir energi fosil, seperti batu bara. Karenanya, regulasi baru nanti harus murni untuk mendukung target net zero emission (NZE) pada 2060.
Direktur Eksekutif IRESS, Marwan Batubara menegaskan RUU EBET harus menghilangkan ketentuan terkait energi baru, terutama yang masih mengakomodasi penggunaan energi fosil. Ketentuan terkait program gasifikasi batu bara (DME) sejatinya tak layak ekonomi, namun coba diselundupkan. “Patut diduga sebelumnya, program DME telah digunakan (sebagai teaser’) untuk memperoleh perpanjangan PKP2B menjadi IUP (dalam revisi UU Minerba No.4/2009) dan ke depan digunakan untuk mengamankan kepentingan bisnis dan menjaga harga saham,” ujarnya dalam diskusi terkait Mengawal RUU EBT Konstitusional dan Pro Rakyat. Di samping itu, proses gasifikasi batu bara justru menghasilkan net emisi GRK lebih besar. Sehingga, program tersebut tidak konsisten dengan target penurunan GRK. “Ingin mengurangi emsisi C02/GRK, tapi yang dilakukan justru sebaliknya! Jika tetap ingin diatur, maka langkah paling tepat adalah merevisi UU Minerba dan UU Migas,” ucap Marwan.
Selain itu, para pembuat kebijakan harus mewaspadai upaya penyeludupan ketentuan untuk menghapus kewajiban DMO batu bara, baik volume dan harga. Hal lainnya yang disoroti Marwan ialah pemuatan ketentuan tentang pembangkit nuklir semestinya dihilangkan, terutama karena Indonesia telah membentuk UU Ketenaga- nukliran Nomor 10 Tahun 1997. Selain itu, terlepas perlunya diversifikasi, praktis pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), menurutnya, tidak prioritas dan masih lama untuk dibangun. “Tersedia beragam alternatif energi terbarukan seperti panas bumi, air dan tenaga surya yang semakin murah, namun pemanfaatannya masih rendah. Negara dan rakyat tidak boleh kalah oleh agenda dan promotor1 pembangkit PLTN,” ungkap Marwan. RUU EBET harus bebas dari motif dan kepentingan sempit dan merugikan, termasuk dari para penumpang gelap. Semula RUU yang menjadi inisiatif DPD RI pada 2018, dinamakan RUU ET (energi terbarukan).
Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto meminta masyarakat bersama- sama mengawasi penyusunan RUU EBET ini. Satu hal yang sempat menjadi perdebatan dengan para akademisi dari Perguruan Tinggi Negeri ternama adalah usulan untuk menurunkan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) di sektor energi terbarukan. “Nah, itu yang kita dari DPR secara terang terangan tolak. Bagaimana kita bisa mandiri teknologi kalau TKDN sektor energi terbarukan ini diturunkan. Kita harus tinggikan. Supaya tidak impor terus,”tegas Mulyanto dalam diskusi yang sama. Ekonom CORE Indonesia, Akhmad Akbar Susamto mengakui regulasi soal energi terbarukan selama ini masih belum lengkap. “Makanya saya mendukung adanya RUU EBET ini, tetapi harus juga tetap kita awasi penyusunannya,” pungkasnya.