UU KUHP Memicu Reaksi Asing

UU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) genap berumur sepekan hari ini. Namun, polemik masih terus terjadi. Penolakan dari sejumlah pihak tetap mengemuka. Agak unik, karena sejumlah ‘penolakan’ terkini itu datang dari pihak asing. Mulai dari negara tetangga hingga lembaga internasional. Ini menunjukkan pekerjaan rumah menyosialisasikan UU KUHP baru masih harus dilakukan pemerintah dan DPR.

Australia termasuk yang awal bersikap soal UU KUHP. Negara yang dijuluki Negeri Kanguru itu menaikkan saran perjalanan bagi warganya ke Indonesia menjadi ‘berhati-hati’. Pemerintah Australia khawatir penerapan UU KUHP, terutama soal pasal yang mengatur larangan seks di luar nikah bagi warga asing ataupun warga lokal berdampak ke warga negaranya yang berlibur di Bali. Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Sung Y Kim juga tidak sungkan menunjukkan ketidaksepakatannya terhadap UU KUHP Indonesia. Sung berbicara di US-Indonesia Investment Summit pekan lalu. Ia langsung merujuk pada pasal di KUHP yang serupa dengan yang dikhawatirkan Australia dan pasal terkait hubungan sesama jenis. Bedanya, Sung lebih jauh mengaitkan beleid itu dengan potensi investasi asing di Indonesia.

Pada Kamis, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga merilis sikapnya atas UU KUHP baru ini. PBB mengapresiasi hadirnya UU KUHP, dengan mengatakan ada modernisasi dan pemutakhiran kerangka hukum Indonesia. Namun, PBB prihatin adopsi ketentuan tertentu dengan KUHP yang direvisi, tampaknya tidak sesuai dengan kebebasan dasar dan HAM, termasuk hak kesetaraan. PBB tidak merujuk satu pasal tertentu, tetapi prihatin dengan soal privasi, kesetaraan, kebebasan beragama, jurnalisme, dan minoritas seksual. UU KUHP yang baru ini memang penuh kontroversi sekaligus momentum bersejarah. Ini untuk pertama kalinya Indonesia memiliki UU KUHP buatan sendiri, setelah lebih dari 100 tahun menebeng produk hukum kolonial Belanda. UU KUHP yang lama jelas disusun dengan dasar kepentingan politik dan hukum kolonialisme Belanda waktu itu.

Search