Pemerintah melalui Permenaker No 18/2022 pada 16 November lalu menetapkan upah minimum (UM) 2023 dengan kenaikan maksimal 10 persen. Lewat permenaker ini, gubemur di seluruh Indonesia paling lambat harus menetapkan UM provinsi 2023 masing-masing pada 28 November, disusul penetapan UM kabupaten/kota pada 7 Desember. Penetapan kenaikan UM dilakukan dengan memperhitungkan pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu yang mencerminkan kontribusi tenaga kerja terhadap ekonomi. Namun, permenaker ini ditolak kalangan pengusaha, yang diwakili Kadin dan 10 asosiasi pengusaha, dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung (MA). Alasan pengusaha, ketentuan permenaker akan memberatkan dunia usaha dan bisa menuntun pada gelombang PHK, ditengah situasi suram global 2023. Proses penetapan UM juga dinilai melanggar beberapa aturan perundangan di atasnya, serta tak melewati pembahasan dengan dewan pengupahan dan forum tripartit.
Semakin menambah kusut, sebagian serikat pekerja yang diwakili Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyatakan akan menggelar aksi di beberapa daerah di seluruh Indonesia jika tuntutan kenaikan UM kabupaten/kota sebesar 10-13 persen tak dipenuhi.
Kisruh soal UM jamak terjadi setiap tahun. Namun, pelaku usaha, buruh, ataupun pemerintah tak boleh menafikan adanya kepentingan bersama untuk tetap menjaga kelangsungan dunia usaha, daya beli pekerja dan ketersediaan lapangan kerja, hubungan industrial yang kondusif, serta tetap berputamya roda perekonomian nasional. Maka, tak ada pilihan lain, duduk bersama, take and give. Jangan memaksakan kehendak masing-masing. Kita mema- hami, UM adalah bentuk pelindungan negara pada pekeija sebagai jaring pengaman sosial agar terhindar dari eksploitasi.
Langkah Kemenaker menetapkan Permenaker No 18/2022 sudah tepat. Kondisi sosial ekonomi yang berubah tak memungkinkan PP 36/2021 yang diberlakukan pada masa krisis pandemi dipertahankan sebagaimana diinginkan pengusaha. Kondisi riil itu termasuk inflasi karena kenaikan harga barang-barang. Namun, semestinya hal ini tetap dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan terkait. Sebaliknya, serikat pekerja juga tak bisa mematok tuntutan kenaikan UM yang tak masuk akal, tanpa melihat situasi riil dunia usaha. Disini pentingnya pemerintah menjembatani kepentingan keduanya.
Kalangan pengusaha menyatakan akan mematuhi apa pun putusan MA. Namun, mereka berharap kebijakan kenaikan upah itu juga dibarengi dengan kebijakan insentif untuk pelaku usaha. Masukan pengusaha agar kenaikan UM disesuaikan dengan kondisi sektoral perlu pula diakomodasi. Idealnya, penetapan upah tak hanya melihat situasi riil sekarang, tetapi juga kepentingan lebih jangka panjang, termasuk upah harus mencerminkan produktivitas pekerja. Perbaikan terhadap produktivitas pekerja harus terus dibenahi. Hal ini menjadi PR dan tanggung jawab bersama semua pemangku kepentingan.