Sepuluh asosiasi pengusaha resmi mendaftarkan permohonan uji materi atas Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023 ke Mahkamah Agung (MA). Beleid tersebut menetapkan kenaikan upah minimum provinsi atau UMP sebesar 10 persen pada tahun 2023. “Permohonan keberatan tersebut telah dibayarkan biaya perkaranya, dan tinggal menunggu proses administrasi di MA, sebelum disidangkan,” ujar kuasa hukum, Denny Indrayana melalui keterangan tertulis pada Senin, 28 November 2022.
Sepuluh asosiasi pengusaha yang mengajukan uji materiil itu adalah Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia (ABADI), Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Himpunan Penyewa dan Peritel Indonesia (Hippindo), Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (GAPMMI), dan 10) Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI).
Permohonan uji materi tersebut berisi 42 halaman, serta disertai 82 alat bukti. Denny berujar dalil-dalil uji materiil yang diajukan berisi alasan mengapa Permenaker 18 Tahun 2022 harus dibatalkan oleh MA. Ia menilai ada enam peraturan perundangan termasuk Putusan Mahkamah Konstitusi yang dilanggar oleh Permenaker 18 Tahun 2022. Keenam batu uji itu, kata dia, adalah Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, serta Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Peraturan lain yang menurutnya dilanggar Permenaker 18 adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang Undang-Undang Cipta Kerja, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, 5) Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2022.
Menurut Denny, Permenaker 18 Tahun 2022 telah menambah dan mengubah norma yang telah jelas mengatur soal upah minimum di dalam PP Pengupahan. Karena itu, ia menilai Permenaker 18 Tahun 2022 bertentangan dengan peraturan-peraturan yang kedudukannya lebih tinggi. Di sisi lain, menteri ketenagakerjaan telah mengambil alih otoritas presiden untuk mengatur upah minimum. Apalagi pengubahan kebijakan melalui Permenaker 18 Tahun 2022 tersebut dilakukan mendadak tanpa sama sekali melibatkan para stakeholder. Keputusan pemerintah dalam menerbitkan aturan tersebut juga tanpa didahului pembahasan dengan Dewan Pengupahan Nasional dan Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional. Karena itu, langkah tersebut telah melanggar prinsip kepastian hukum hingga memperburuk iklim investasi nasional.