Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI Penny K Lukito mengungkapkan hasil pengawasannya terhadap 5 perusahaan farmasi yang kini sedang diproses secara hukum di kepolisian. Dari hasil pengawasan dan pengujian, itu diketahui obat sirup yang diproduksi mengandung cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) mencapai 433 hingga 702 kali melebihi ambang batas. Kelima IF (industri farmasi) tersebut telah diberikan sanksi administratif yaitu PT Yarindo Farmatama dan PT Universal Pharmaceutical Industries, ada tiga perusahaan lainnya yang masih diselidiki dan dalam proses pemeriksaan saksi. Tiga perusahaan tersebut, yakni PT Samco Farma, PT Ciubros Farma, PT Afi Farma.
Sanksi administratif yang diberikan berupa pencabutan sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), pencabutan izin edar produk sirup obat, penghentian kegiatan produksi, penarikan semua sirup obat dari peredaran, dan pemusnahan semua persediaan atau stok sirup obat. Selain itu, BPOM juga memberikan sanksi berupa pencabutan Sertifikat Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) terhadap dua Pedagang Besar Farmasi (PBF) yang terlibat dalam peredaran bahan baku Propilen Glikol yang Tidak Memenuhi Syarat (TMS). PBF itu adalah PT Afi Farma dan CV Samudra Chemical.
Penny mengatakan perusahaan farmasi sebagai pemegang izin edar obat bertanggung jawab terhadap mutu, keamanan, dan khasiat produk, termasuk mutu bahan baku yang digunakan. Perusahaan juga wajib melakukan pemantauan khasiat, keamanan, dan mutu obat selama obat diedarkan dan wajib melaporkan hasilnya kepada BPOM. Karena itu, ia mengimbau agar perusahaan farmasi mematuhi ketentuan, standar, dan regulasi yang berlaku antara lain Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, dan Peraturan BPOM Nomor 24 Tahun 2017 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat.
Hingga saat ini, PT Yarindo Farmatama dan PT Universal Pharmaceutical Industries telah ditetapkan sebagai tersangka. Sementara PT Ciubros Farma masih dalam proses penyidikan dan masih dilakukan pemeriksaan saksi dan ahli, untuk selanjutnya dilakukan penetapan tersangka. Sedangkan PT Samco Farma masih dalam proses investigasi dan pemeriksaan saksi-saksi untuk segera ditetapkan sebagai tersangka.
Untuk pedagang besar farmasi PT Afi Farma dan CV Samudra Chemical, keduanya telah diproses bersama oleh BPOM dan Bareskrim Polri. Penny mengaku telah berkoordinasi dengan Kepolisian dan Kejaksaan Agung untuk mendukung kelancaran proses penindakan dan penegakan hukum agar dapat memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan tersebut.
“Penindakan terhadap kejahatan kemanusiaan ini telah dan akan dilakukan secara tegas. BPOM dengan segera berkomitmen melakukan upaya perbaikan dan pencegahan agar tragedi ini tidak terulang,” ucap Penny. Perusahaan farmasi, harus belajar dari kasus gagal ginjal akut pada anak ini. Dengan adanya bukti tindak kejahatan pemalsuan bahan baku obat, menurut dia, industri farmasi harus selalu menegakkan sistem jaminan keamanan-mutu obat secara konsisten.
BPOM pun meminta pelaku industri farmasi Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia dan International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG) untuk memenuhi persyaratan mutu produk sesuai dengan peraturan perundang-undangan, termasuk melakukan kualifikasi pemasok bahan baku.
Perusahaan farmasi juga wajib melaporkan kepada BPOM apabila terjadi kejadian tidak diharapkan (KTD) yang diduga disebabkan produk obat, sebagai peringatan awa, pencegahan, dan penanggulangan. Kewajiban perusahaan farmasi lainnya adalah melakukan penarikan produk secara sukarela jika terdapat produk yang tidak memenuhi ketentuan, terutama jika terbukti menyebabkan KTD. “Perusahaan juga wajib meningkatkan pembinaan anggota asosiasi dalam menjaga mutu obat guna perlindungan kesehatan masyarakat dan keberlangsungan usaha,” ujarnya.