Indonesia berpotensi kehilangan dana hibah atau pinjaman US$20 miliar atau setara dengan Rp314 triliun (asumsi kurs Rp15.717 per dolar AS) untuk transisi energi. Risiko kehilangan dana yang disebut Just Energy Transition Partnership (JETP) itu muncul jika Indonesia tidak transparan dan adil dalam pengembangan energi terbarukan. JETP adalah dana hibah atau pinjaman besutan kemitraan Partnership for Global Infrastructure and Investment (PGII) yang berada di bawah G7 (Amerika Serikat, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, dan Prancis).
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menekankan periode 6 bulan pertama JETP sangat krusial. Jika tidak sesuai dengan prinsip berkeadilan, realisasi komitmen Rp314 triliun bisa berkurang bahkan ditikung negara lain. Bhima menekankan, dana JETP yang didapat Indonesia lebih besar dari yang diterima Afrika Selatan. Namun, ada potensi koreksi dana jika RI masih mengabaikan prinsip transparansi dan berkeadilan atau melakukan upaya nakal lain, seperti menyelipkan energi baru dan terbarukan (EBT) yang bukan prioritas atau overvalue dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang akan dipensiunkan. Ia juga menyoroti soal detail kesepakatan dalam pemberian bantuan tersebut. Pasalnya, diskusi dilakukan secara tertutup hingga tiba-tiba muncul komitmen Rp314 triliun. Padahal jika dilihat dari landasan hukum transisi energi di Indonesia, masih perlu revisi dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 Tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Di sisi lain, Bhima tak memungkiri bahwa negara maju juga punya kepentingan, termasuk komitmen dengan Kesepakatan Paris. Ada poin di mana negara maju harus membantu pendanaan negara berkembang. Ia meyakini negara maju atau G7 mengejar hal tersebut.