Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudisthira, mengatakan industri tekstil Indonesia saat ini mengalami masa paling sulit. Penyebabnya banyak faktor, di antaranya penurunan ekspor yang cukup signifikan di pasar Eropa dan Amerika Serikat. Penurunan permintaan ekspor tersebut dikarenakan konsumen mengalami pelemahan daya beli. Kemudian, tekanan biaya produksi akibat naiknya harga material bahan baku dan biaya logistik. Ini terkait dengan selisih kurs dan lockdown di Tiongkok. “Inflasi mulai memukul pelaku usaha tekstil dan pakaian jadi,” kata Bhima. Bahkan, ada industri tekstil yang sangat besar dan selama ini sangat eksis karena banyak ekspor, kini sudah dililit utang dan terancam bangkut.
Faktor lainnya yang membuat semakin parah adalah kenaikan suku bunga pinjaman mendorong beban bagi pelaku usaha karena sebagian industri tekstil bergantung pada kredit perbankan. Kondisi ini diperburuk lagi dengan serbuan produk impor, khususnya pakaian bekas. Untuk pakaian jadi yang berorientasi pasar domestik menghadapi dua tantangan sekaligus. Pertama, banjir impor pakaian jadi terutama brand asing yang ekspansif. Problemnya basis produksi brand asing ada di Vietnam dan Bangladesh, bukan RI. Kedua, impor baju bekas turut memakan pangsa pasar pemain lokal. Beberapa tahun terakhir, muncul thrift store atau toko baju bekas hingga ke pelosok desa. “Dengan tekanan daya beli, konsumen lebih tergiur membeli baju bekas dibanding produk lokal baru,” ucapnya.
Khusus terkait kenaikan harga bahan baku, menurut Bhima, perlu substitusi bahan baku lokal untuk mengantisipasi naiknya harga bahan baku impor. Tetapi, pelaku usaha lokal juga harus meningkatkan kualitas dan kapasitas produksi sehingga memenuhi kebutuhan industri di hilir. Sementara Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, mengatakan problem yang dialami industri tekstil tak kunjung terurai, dari dulu masalahnya selalu sama tanpa ada perbaikan. Masalah di industri tekstil ialah karena bahan baku impor dan mahal, kemudian mesin-mesin produksi sudah tua, sehingga kapasitas produksinya kurang. Di sisi lain, iklim pendukungnya masih sangat jauh dari harapan. Sekolah tekstil juga jarang dan standar lingkungan juga tidak jelas. Biaya produksi mahal, produk lokal lebih mahal, sehingga “tsunami” impor besar-besaran karena tidak ada upaya membendung impor, safeguard hanya sementara. “Kalau mau produk tekstil dan produk tekstil (TPT) kita kompetitif maka masalah itu harus diselesaikan dulu,” ungkapnya.