Ringkasan:
MK membatalkan ketentuan dalam Undang-Undang Pemilu yang menyatakan menteri atau pejabat negara setingkat menteri harus mundur ketika mencalonkan diri sebagai calon presiden atau calon wakil presiden (31/10). Namun, MK menyatakan menteri atau pejabat setingkat menteri itu perlu mendapat persetujuan dan izin cuti dari presiden.
Guru Besar Kebijakan Publik FISIP UGM, Wahyudi Kumorotomo mengatakan, saat menteri atau pejabat setingkat menteri maju sebagai capres atau cawapres, mereka bisa memobilisasi aparatur sipil negara (ASN) di bawah otoritasnya, hingga memobilisasi sumber dana negara untuk pemenangannya di pemilihan presiden. Ini tetap terjadi sekalipun menteri atau pejabat setingkat menteri harus cuti. Oleh karena besarnya potensi penyalahgunaan kekuasaan itu, putusan MK tersebut harus ditindaklanjuti dengan pengawasan yang lebih ketat. Ini terutama dari Bawaslu, selain pentingnya mengoptimalkan peran serta publik untuk mengawasi.
Deputi Pemenangan Pemilu DPP Partai Demokrat Kamhar Lakumani menilai putusan MK itu problematik meski pihaknya menghormati putusan itu. Dari sisi etika, sulit bagi pejabat terkait untuk menjelaskan kepada publik bahwa tidak akan ada penyalahgunaan kekuasaan atau pemanfaatan jabatan untuk kepentingan kampanye dan pemenangan. Menurut Kamhar, diperlukan aturan lebih lanjut untuk meminimalkan, bahkan mengeliminasi potensi penggunaan ASN dan fasilitas negara untuk kepentingan politik praktis pejabat terkait, tetapi pengunduran diri tetap menjadi opsi terbaik. Sebaliknya, Ketua DPP PDI-P Bambang Wuryanto menerima argumentasi MK. Sesuai dengan ketentuan UU Pemilu, yang terpenting bagi para pejabat tersebut adalah tidak menggunakan fasilitas negara ketika berkontestasi di pilpres.