Ke Depan, Dunia Masih Hadapi Krisis Energi dan Pangan

Negara-negara di dunia masih menghadapi krisis energi dan pangan dalam beberapa bulan ke depan. Hal itu bersamaan dengan negara-negara Eropa memasuki musim dingin di saat terjadi pembatasan pasokan gas dari Rusia. Sedangkan ancaman krisis pangan dikhawatirkan terjadi karena ancaman dari Rusia yang akan mengebom kapal Ukraina yang mengangkut gandum ke seluruh dunia serta mundurnya Rusia dari kesepakatan ekspor biji-bijian yang ditengahi Perserikatan Bangasa Bangsa (PBB). Deputi Gubernur Bank Indonesia, Dody Budi Waluyo, mengatakan ancaman Rusia tersebut berpotensi mengganggu pasokan pangan gandum dunia termasuk ke Indonesia. “Kita akan melihat harga minyak dan gas akan naik beberapa bulan ke depan. Harga komoditas berisiko akan tinggi ke depan. Ini simbol bahwa dunia tidak sedang baik-baik saja. Kita tidak menakut-nakuti, tapi bagaimana memitigasinya ke depan,” kata Dody.

Sebagaimana bank sentral di berbagai negara, BI pun meningkatkan suku bunga acuan dengan fokus mengendalikan inflasi meskipun kebijakan tersebut berisiko memperlemah pertumbuhan ekonomi. Dari sisi pasokan, BI juga bekerja sama dengan kementerian dan lembaga lain, serta pemerintah daerah untuk menjaga pasokan bahan pangan melalui Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) yang digelar di berbagai wilayah. Beberapa program yang didorong melalui GNPIP ialah urban farming yang diharapkan dilakukan oleh masyarakat dan operasi pasar yang dapat dilakukan dengan menggunakan dana tidak terduga sebesar 2 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). “Masalahnya, saat ini serapan belanja tidak terduga sebesar 2 persen dari APBD masih sangat rendah, padahal Presiden Jokowi selalu meminta agar dana itu digunakan karena sudah legal untuk digunakan,” katanya.

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, mengatakan sudah saatnya Indonesia lepas dari broker yang melekat di pemerintahan yang menggiring agar negeri ini terus menggantungkan diri pada produk impor yang menguntungkan sekelompok kecil golongan saja. Negara harus punya komitmen kuat sebagaimana melindungi dan mewujudkan kedaulatan pertanian dan pangan. Menurut Haedar, importir dan broker-broker menguasai kebijakan pangan dengan cara seolah-olah Indonesia terus berada dalam situasi mendesak harus impor. Satu-satunya cara melawan adalah dengan memastikan hasil pertanian petani lokal Indonesia diserap secara maksimal untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal. Pengamat Energi Baru dan Terbarukan (EBT), Surya Darma, meminta pemerintah untuk mengantisipasi ancaman krisis energi ke depannya, apalagi jika kondisi itu tidak hanya berlangsung untuk jangka pendek, tetapi untuk jangka panjang. “Harus dilakukan transformasi penggunaan energi dari energi fosil ke energi terbarukan. Apalagi jika dikaitkan dengan ambisi target net zero emission (NZE),” tegasnya. Hal itu perlu segera dilakukan supaya kita tidak bergantung energi impor untuk kebutuhan pembangkit dan transportasi di dalam negeri,” kata Surya.

Search