Beberapa asumsi makro Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 yang sudah ditetapkan berpotensi meleset dari target. Asumsi yang berpotensi meleset mulai dari Pertumbuhan Ekonomi yang ditargetkan 5,3 persen, lalu inflasi 3,6 persen dan nilai tukar rupiah 14.800 per dollar AS. Potensi melesetnya asumsi makro tersebut sangat besar karena sejumlah lembaga keuangan global juga merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia seperti IMF yang memperkirakan hanya di level 5 persen. Selain itu, sepanjang tahun berjalan inflasi sudah mencapai 4,84 persen, sedangkan kurs rupiah sudah menembus level psikologis 15.000 per dollar Amerika Serikat (AS).
Pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Suroso Imam Zadjuli, mengatakan, penurunan asumsi pertumbuhan disebabkan beban utang pada APBN yang makin tinggi. “Ini karena beban utang kita semakin tinggi. Kondisi kita jangan disamakan dengan utang Jepang. Mereka punya utang tapi juga mengutangkan uangnya ke Kanada, AS, Korea dan negara lainnya, sehingga yen dan ekonominya semakin kuat. Sedangkan utang luar negeri kita tidak hanya pada IMF, Bank Dunia, tapi juga banyak negara,” kata Suroso. Meskipun ada empat negara asing yang sudah membebaskan utang Indonesia, tapi nilainya relatif kecil. Ini yang menyebabkan rupiah cenderung terus merosot. Begitu juga dengan pertumbuhan (yang merosot). Asumsi 5 persen itu karena ada konsumsi rumah tangga.
Ekonom Unair lainnya, Rossanto Dwi Handoyo, mengatakan pemerintah harus mewaspadai apabila depresiasi rupiah ini terus berlanjut ke angka psikologis pasar dalam jangka menengah dan panjang (misalnya angka psikologis 16 ribu rupiah). Saat ini bank sentral dan pemerintah harus mengintervensi karena kondisi ini bakal membuat investor panik. Jika demikian maka yang terjadi bukan hanya capital outflow tetapi capital flight, sehingga perlu diintervensi. Apabila nilai tukar rupiah terus terdepresiasi cukup dalam, dan terjadi untuk jangka menengah dan panjang maka akan berpengaruh pada harga barang di tingkat konsumen. Sebab, sekitar 80 persen impor kita itu merupakan impor bahan baku, lalu 10 persennya barang modal. Artinya, impor digunakan untuk memproduksi suatu barang. “Kalau biaya produksi meningkat maka pengusaha akan menaikan harga yang akan membebani konsumen. Ini yang disebut imported inflation, inflasi yang naik karena kenaikan harga barang impor. Kondisi ini harus diwaspadai pemerintah karena. Dalam konteks ini masyarakat harus dilindungi,” kata Rossanto.