Target Kurang Realistis

Target pemerintah untuk menekan tingkat kemiskinan hingga 7,5 persen dinilai kurang realistis di tengah ancaman resesi dunia dan belanja APBN yang semakin ketat. Registrasi Sosial Ekonomi sebagai senjata andalan pemerintah adalah langkah terobosan penting, tetapi tidak cukup untuk menekan angka kemiskinan secara ekstrem. Sejalan dengan pembenahan data sasaran penerima bantuan sosial lewat Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek), diperlukan langkah terobosan lain untuk menciptakan lapangan kerja yang layak, meningkatkan standar pendapatan masyarakat, serta menjaga daya beli warga lewat instrumen perlin- dungan sosial yang lebih kuat.

Menurut Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal, target kemiskinan 7,5 persen sampai 8,5 persen itu akan sulit dicapai di tengah kondisi perekonomian global yang masih tak tentu serta ruang fiskal yang semakin terbatas akibat ditekannya defisit APBN di bawah batas 3 persen, yaitu 2,84 persen. Ia khawatir, dengan normalisasi kebijakan fiskal tahun depan, belanja APBN akan banyak dipangkas, termasuk stimulus dan insentif yang sifatnya produktif untuk usaha mikro dan kecil.

Dalam laporan Reforms for Recovery: East Asia and Pacific Economic, Bank Dunia menaikkan garis kemiskinan ekstrem dan kelas masyarakat berdasarkan standar paritas daya beli (purchasing power parities/PPP) atau keseimbangan kemampuan berbelanja tahun 2017, menggantikan PPP 2011. Berdasarkan standar itu, garis kemiskinan ekstrem naik dari 1,9 dollar AS per hari atau sekitar Rp 28.969 menjadi 2,15 dollar AS per hari atau Rp 32.781. Dampaknya, 13 juta warga kelas menengah-bawah di Indonesia turun kelas menjadi masyarakat miskin.

Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Isa Rachmatarwata mengatakan, evaluasi garis kemiskinan akan dibahas lintas kementerian. Standar yang ditetapkan Bank Dunia akan jadi salah satu pertimbangan, tetapi ia belum bisa memastikan jika Indonesia akan mengikuti standar Bank Dunia. Selama ini, BPS menggunakan penghitungan garis kemiskinan yang berbeda dengan Bank Dunia. Ini akan jadi bahan evaluasi dan diskusi di kabinet. Mau berubah maupun tidak, pasti akan tetap ada review terhadap Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).

Search