Bank Indonesia (BI) kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada 2022 menjadi 2,8 persen atau lebih rendah dari perkiraan bank sentral pada Juli lalu sebesar 2,9 persen. Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam keterangan pers mengenai hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, September, di Jakarta, Kamis (22/9), mengatakan perekonomian global berisiko tumbuh lebih rendah disertai dengan tingginya tekanan inflasi dan ketidakpastian pasar keuangan global. Perry memperkirakan penurunan pertumbuhan ekonomi akan berlanjut dan lebih besar pada tahun 2023 terutama di Amerika Serikat (AS), Eropa, dan Tiongkok, bahkan disertai dengan risiko resesi di sejumlah negara maju.
BI pada tahun depan juga memproyeksikan ekonomi dunia akan tumbuh 2,7 persen, bahkan ada beberapa risiko penurunan ke level 2,6 persen. Ekonomi AS diperkirakan bisa bertumbuh pada tahun ini sekitar 2,1 persen, namun menurun pada tahun depan ke level 1,5 persen, sementara Eropa akan tumbuh 2,1 persen pada 2022 dan 1,2 persen di tahun 2023 serta pertumbuhan ekonomi Tiongkok akan mencapai 3,2 persen di 2022 dan meningkat hingga 4,6 persen pada 2023. Menurut Perry, volume perdagangan dunia juga tetap rendah. Di tengah perlambatan ekonomi, disrupsi pasokan meningkat sehingga mendorong harga energi bertahan tinggi. “Tekanan inflasi global semakin tinggi seiring dengan ketegangan geopolitik, kebijakan proteksionisme yang masih berlangsung, serta terjadinya fenomena heatwave di beberapa negara,” tuturnya.
Inflasi di negara maju maupun di negara pasar berkembang atau emerging market meningkat tinggi, bahkan inflasi inti berada dalam tren meningkat sehingga mendorong bank sentral di banyak negara melanjutkan kebijakan moneter agresif. Perkembangan terkini menunjukkan kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS, The Fed alias Fed Fund Rate (FFR), yang lebih tinggi dari perkirakan masih akan meningkat. Perkembangan tersebut mendorong semakin kuatnya mata uang dollar AS dan semakin tingginya ketidakpastian di pasar keuangan global, sehingga mengganggu aliran investasi portofolio dan tekanan nilai tukar di negara-negara pasar berkembang, termasuk Indonesia. Pakar Ekonomi Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, Yohanes B Suhartoko, mengatakan kenaikan suku bunga acuan jangka pendek lebih agresif sebesar 50 basis poin dibandingkan bulan lalu yang naik 25 basis poin menunjukkan eskalasi preferensi terhadap stabilisasi harga dan nilai tukar lebih besar daripada pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan hal ini, pemerintah perlu melakukan kebijakan fiskal agar daya beli konsumen tidak merosot drastis. Pertumbuhan ekonomi kembali perlu didukung dari sisi konsumsi, dengan berbagai insentif.