Era Rezim Suku Bunga Tinggi Dimulai

Survei yang dilakukan Financial Times baru-baru ini menunjukkan mayoritas ekonom terkemuka memperkirakan Bank Sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve atau The Fed akan menaikkan suku bunga acuan Fed Fund Rate (FFR) di atas 4 persen. Level tersebut akan dipertahankan setelah 2023 sebagai upaya untuk melawan inflasi yang tinggi. Survei terbaru yang dilakukan dalam kemitraan dengan Initiative on Global Markets di Booth School of Business University of Chicago, menunjukkan kalau The Fed masih jauh dari upaya mengakhiri kampanye yang memperketat kebijakan moneter.

Lebih dari sepertiga ekonom yang disurvei memperingatkan, the Fed akan gagal mengendalikan inflasi jika tidak menaikkan suku bunga di atas 4 persen pada akhir tahun ini. Sebagian besar juga berpendapat The Fed akan mempertahankannya pada periode lebih lanjut. Resesi AS menurut para ekonom kemungkinan akan berlangsung selama dua atau tiga kuartal, dan pada puncaknya, tingkat pengangguran bisa berkisar 5-6 persen jauh melebihi tingkat 3,7 persen saat ini.

Pakar Ekonomi dari Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Imron Mawardi, menyebut jika hal ini betul terjadi maka dampaknya akan sangat besar pada pasar keuangan dunia. Suku bunga tinggi di AS membuat obligasi pemerintah naik, sehingga akan berdampak pada emerging market seperti Indonesia dan Tiongkok. Modal akan banyak tersedot ke AS. Pengamat Ekonomi dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Aloysius Gunadi Brata, mengatakan emerging market akan terdampak setidaknya nilai tukar akan cenderung melemah, pelunasan utang luar negeri menjadi lebih berat, larinya kapital ke luar negeri, dan neraca perdagangan juga akan terganggu. “Ini hal serius di tengah situasi ekonomi nasional dan global yang sampai saat ini serba tidak pasti,” ungkapnya.

Search