Kendati masih jauh dari risiko krisis pangan, Indonesia dinilai perlu bekerja keras mengendalikan tren terus. naiknya importasi komoditas pangan. Selain kebijakan hulu-hilir yang terintegrasi, insentif usaha, khususnya bagi petani, peternak, dan pelaku di hulu, perlu menjadi perhatian guna memperkuat produksi sekaligus kemandirian pangan nasional. Demikian poin yang mengemuka dalam Diskusi Ekonomi Berdikari tentang pangan yang digelar harian Kompas di Jakarta, Selasa (13/9/2022). Hadir sebagai pembicara Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi, Sekretaris Perusahaan Perum Bulog Awaludin Iqbal, Rektor IPB University Arif Satria, serta Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa. Menurut Airlangga, ketahanan pangan menjadi prioritas pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan. Langkah pemerintah (antara lain) meningkatkan produktivitas, misalnya, (dengan mengizinkan) pemakaian bibit GMO (genetically modified organism) pada jagung, bisa juga untuk kedelai dan beras (padi).
Menurut Arif Satria, Indonesia mengalami diversifikasi pangan yang salah. Semestinya bahan pangan yang dikonsumsi adalah produk nonberas produksi lokal. Namun, situasi yang terjadi tidak demikian sebab justru gandum yang notabene impor yang kian populer. Peningkatan konsumsi gandum terjadi di tengah kecenderungan turunnya rata-rata konsumsi beras per kapita. Kecukupan beras dari produksi dalam negeri tiga tahun terakhir juga tak lepas dari tren itu. Saat ini momentum untuk mengurangi ketergantungan pada pangan impor. Pengembangan pangan lokal harus ditempuh serius dan sistematis. IPB, misalnya, membuat mi berbahan baku berbagai bahan pangan lokal, tetapi masalahnya, siapa yang mau investasi produksinya. Perlu gerakan massal luar biasa, ujamya.