Pemerintah menyatakan berbagai bauran kebijakan yang diterapkan dalam dua tahun terakhir berhasil meluputkan perekonomian Indonesia dari stagflasi atau kondisi di mana pertumbuhan ekonomi stagnan dan inflasi tinggi. Kebijakan tersebut antara lain meliputi pengendalian penularan Covid-19 di dalam negeri, pemberian anggaran perlindungan sosial (perlinsos) terhadap masyarakat ekonomi rentan, pemberian bantuan kepada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), pemberian insentif pajak kepada para wajib pajak (WP), hingga pemberian relaksasi restrukturisasi kredit kepada lembaga jasa keuangan. Berbagai upaya, terus dilakukan pemerintah agar pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mencapai target 5,2 persen yoy dan dapat menekan angka inflasi mencapai target di bawah 4 persen yoy pada akhir tahun 2022. Namun demikian, Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad, menegaskan klaim pemerintah soal keberhasilan menghindarkan RI dari risiko stagflasi masih dipertanyakan. Sebab, masih banyak intervensi kebijakan pada 2020 dan 2021 yang kurang efektif penerapannya.
Efektif tersebut misalnya efektivitas penyaluran dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) dinilai meragukan karena penyaluran ke beberapa sektor masih lambat, seperti untuk kesehatan, UMKM, dan juga dunia usaha. Tantangan pada 2020 dan 2021 memang tidak sebanding sebelum pandemi (2019). Dua tahun terakhir perekonomian benar-benar terpukul. Namun demikian, ujian bagi pemerintah yang sesungguhnya baru pada 2022 dan 2023 nanti. Dengan tekanan ekonomi global saat ini yang membuat harga pangan dan energi bergejolak, akan mengganggu pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Jika nilai bansos tidak ditambah maka konsumsi masyarakat tidak akan meningkat. Saat ini, nilai bansos sebagai kompensasi kenaikan harga BBM terlalu kecil. Itu tidak akan mengangkat daya beli.
Hal yang perlu menjadi perhatian adalah inflasi yang tinggi pada beberapa kuartal tahun ini, sedangkan pertumbuhan ekonomi stagnan di angka 5 persen. “Itu yang menjadi masalah pemerintah jika daya beli masyarakat tidak didorong. Hitung-hitungan saya, tahun ini kita hanya tumbuh 5 persen. Rasanya agak susah kalau sampai 5,5 persen,” papar Tauhid. Apalagi pertumbuhan ekonomi di negara-negara mitra dagang utama juga ikut melambat seperi Tiongkok yang hanya tumbuh di level 4 persen dibanding sebelumnya di level 6-7 persen. Sedangkan dari dalam negeri, belum semua sektor benar-benar pulih pascapandemi, seperti industri, pariwisata, jasa, perhotelan.