Perubahan iklim yang mengancam planet Bumi harus segera diatasi melalui berbagai kebijakan ketahanan iklim agar mampu menghindari potensi kerugian bagi umat manusia. Apalagi, baik Indonesia maupun global saat ini memiliki triple planetary crisis, yaitu perubahan iklim, polusi, dan hilangnya keanekaragaman hayati yang akan mengancam masa depan Bumi dan manusia. Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas, Medrilzam, menyebutkan potensi kerugian ekonomi Indonesia akibat adanya perubahan iklim, jika tidak ada intervensi kebijakan, mencapai 544 triliun rupiah sepanjang 2020 sampai 2024. Ancaman paling nyata dari dampak climate change ini adalah ketersediaan pangan.
Medril menuturkan potensi kerugian ekonomi Indonesia sebesar 544 triliun rupiah tersebut meliputi empat sektor, yaitu pesisir dan laut 408 triliun rupiah, air 26 triliun rupiah, pertanian 78 triliun rupiah, dan kesehatan 31 triliun rupiah. Pengamat iklim dari Universitas Brawijaya, Malang, Adi Susilo, mengatakan ancaman paling nyata dari dampak climate change ini adalah ketersediaan pangan yang produksinya sangat bergantung pada cuaca. Koordinator OC Komite Nasional Pertanian Keluarga (KNPK), Ika Khrisnayanti, mengatakan bahwa upaya-upaya untuk menanggapi dampak perubahan iklim adalah dengan melakukan adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim. Di pertanian, adaptasi bisa dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan kembali ke pertanian agroekologis atau pertanian organik atau pertanian alami (natural farming).
Berdasarkan data The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) atau Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim pada 2022, krisis perubahan iklim mengancam sekitar 50 persen sampai 75 persen dari populasi global pada tahun 2100. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan, sejak 2011 hingga 2020, jumlah kenaikan bencana iklim di Indonesia meningkat 67 persen. Bencana iklim diperkirakan akan terus meningkat. Pada periode yang sama, emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Indonesia juga meningkat sekitar 15 persen. Karena itu, menurutnya, untuk mencegah krisis iklim maka emisi global harus dipangkas. Dalam konteks Indonesia, perlu dilakukan pemotongan 9-11 gigawatt (GW) Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) pada 2030, dan meningkatkan penggunaan energi terbarukan hingga mencapai 42-47 persen dari total energi primer pada 2030, serta peningkatan efisiensi energi di sisi permintaan.