Penunjukan Penjabat Berpotensi Ubah Sistem Pilkada

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai penunjukan penjabat kepala daerah gelombang dua yang bakal dilakukan pada Oktober 2022, dikhawatirkan memunculkan potensi terjadi pilkada tidak langsung. Lucius mengaku, potensi itu bisa terjadi jika penjabat yang ditunjuk pemerintah menjalankan pekerjaannya dengan sangat baik (31/7). Hal itu memunculkan anggapan publik agar tidak repot pilkada lima tahun, kepala daerah dipilih oleh DPRD saja. Menurut Lucius, di satu sisi kinerja penjabat kepala daerah yang baik menguntungkan daerah, sedangkan di sisi lain hal itu menjadikan alasan para politikus di daerah untuk mengusulkan sistem pemilihan kepala daerah dari langsung menjadi tidak langsung.

Selain itu, Lucius menyoroti pola relasi antara DPRD dan kepala daerah. Dalam banyak hal DPRD masih sangat tergantung dengan kepala daerah, khususnya terkait dengan anggaran. Jelang 2024, Lucius mengatakan anggota DPRD yang berencana akan maju lagi dituntut memiliki ‘amunisi’, dan dapat muncul persoalan ketika kebijakan yang dilakukan penjabat kepala daerah khususnya terkait kebijakan anggaran tidak sesuai dengan kemauan DPRD.
Menurutnya, persoalan tersebut bisa diatasi kalau aturan teknis dari Kemendagri tegas mengatur soal pola relasi antara DPRD dan penjabat kepala daerah. Sebab, penjabat kepala daerah yang ditunjuk tahun 2022 akan terlibat pembahasan untuk tahun anggaran 2024 pada 2023.

Wakil Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Jojo Rohi menilai pemerintah perlu menegaskan kembali penjabat merupakan pendelegasian dari pemerintah pusat agar persiapan pemilu dan pilkada 2024 itu menjadi lancar. Sementara, Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA), Ray Rangkuti, menilai penunjukan pejabat akan menguntungkan Presiden Jokowi. Salah satunya, para penjabat dipastikan tidak akan melakukan penyalahgunaan wewenang untuk partai politik atau kandidat calon presiden tertentu.

Search