Penanganan krisis global akibat lonjakan harga pangan dan energi dinilai semakin rumit karena masalahnya makin kompleks akibat sumber krisisnya terjadi di negara lain seperti di Rusia dan Ukraina. Peneliti Senior Surabaya Survey Center (SSC), Surokim Abdussalam, mengatakan ekonomi kita terkoneksi dengan apa yang terjadi di negara lain sehingga ada potensi saling kebergantungan. “Pertahanan dan kedaulatan pangan dan energi dalam negeri memang akan menjadi kunci, tetapi kerja sama internasional dan multilateral akan bisa menjadi salah satu jalan ikhtiar preventif dan pengurai masalah yang timbul dan berasal dari luar negeri dan kawasan internasional,” kata Surokim.
SementaraPengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, mengatakan multilateralisme atau kerja sama dengan beberapa negara adalah cara terbaik penyelesaian krisis. Namun demikian, perlu diingat pula ada contagious effects yang harus dipertimbangkan jika multilateralisme semakin tinggi. Bila kerja sama antarnegara makin erat, ada kemungkinan satu negara bisa tertular krisis dari negara lain karena mereka saling berhubungan, terutama dalam bidang perdagangan.
Menteri Luar Negeri RI, Retno LP Marsudi, pada saat berpidato pada pembukaan pertemuan kedua Sherpa G20, di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (10/7), mengatakan multilateralisme masih menjadi cara penyelesaian krisis yang terbaik saat ini, terutama krisis pangan dan energi. Pada kesempatan tersebut, Retno mengingatkan perlunya penanganan yang cepat. Jika tidak ditangani, krisis tersebut akan berubah menjadi bencana kemanusiaan dan negara-negara berkembang akan menjadi yang paling terdampak.