Pengusaha minyak goreng membantah memiliki utang Rp130 miliar kepada perusahaan ritel. Menurut Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga, pengusaha ritel tidak berani mengatakan bahwa dana sebesar Rp130 miliar sebenarnya adalah kerugian atas kebijakan pemerintah yang mewajibkan peritel menjual minyak goreng kemasan premium sesuai harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp14 ribu per liter pada Januari 2022 lalu. Menurut dia, pemerintah yang mewajibkan pengusaha ritel menjual minyak goreng seharga Rp14 ribu per liter. Dengan demikian, peritel seharusnya mengurus masalah ini dengan pemerintah bukan dengan pengusaha minyak goreng.
Ketua Umum Aprindo Roy N Mandey mengatakan pengusaha minyak goreng memiliki utang Rp130 miliar kepada pengusaha ritel terkait penjualan minyak goreng kemasan seharga Rp14 ribu per liter pada Januari 2022 lalu. Roy membeberkan utang itu berasal dari selisih harga pembelian minyak goreng kemasan yang lebih tinggi ketimbang harga jual di ritel modern. Ia menjelaskan pemerintah menugaskan Aprindo untuk menjual minyak goreng kemasan sebesar Rp14 ribu mulai 19 Januari 2022. Padahal, kata Roy, pengusaha ritel harus membeli minyak goreng kemasan dari distributor lebih dari Rp14 ribu per liter. Saat itu, produsen menjual minyak goreng kemasan dari Rp16 ribu-Rp20 ribu per liter. “Kenapa kami berani? Karena sesuai arahan bahwa selisih harga akan ditanggung BPDPKS,” ungkap Roy. Roy mengatakan BPDPKS akan memberikan dana kepada produsen minyak goreng. Kemudian, dana itu akan diberikan kepada pengusaha ritel. Dan kenyataannya produsen belum selesai dengan BPDPKS.
Selisih yang akan dibayarkan kepada produsen dihitung dari Rp17.260 dikurangi Rp14 ribu atau hanya Rp3.260 per liter. Berarti, pengusaha ritel yang membeli minyak goreng kemasan di produsen sebesar Rp18 ribu sampai Rp20 ribu otomatis merugi.