Dalam Rapat Paripurna Masa Persidangan V Tahun Sidang 2021-2022, (7/7/2022), yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Rachmat Gobel, DPR menyepakati RUU Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya menjadi RUU inisiatif DPR. Seusai rapat, Puan Maharani menjelaskan setelah melalui pertimbangan dan diskusi yang panjang antara pemerintah dan DPR, diusulkan agar ada satu lagi daerah otonomi baru, yaitu Papua Barat Daya. Pemekaran di Papua ini akan sangat berpengaruh pada pelaksanaan Pemilihan Umum 2024, sehingga pimpinan DPR mengizinkan Komisi II DPR untuk melakukan rapat bersama penyelenggara pemilu dan pemerintah untuk membahas sejumlah Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) di masa reses.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Junimart Girsang mengatakan, rencana pembentukan Papua Barat Daya tidaklah muncul secara tiba-tiba. Namun, dari pemerintah hanya siap (anggaran) untuk tiga DOB. Setelah ini DPR akan bersurat kepada Presiden Joko Widodo. Komisi II DPR berharap, Presiden segera mengeluarkan surat presiden untuk melanjutkan proses pembahasan RUU Pembentukan Papua Barat Daya. Jika surat presiden ada, berarti pemerintah sudah harus siap anggaran. Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Demokrat, Rezka Oktoberia, berharap agar rencana pembentukan Papua Barat Daya ini dilakukan dengan prinsip kehati-hatian.
Peneliti Gugus Tugas Papua UGM Arie Ruhyanto menyampaikan proses pemekaran Papua mungkin relatif lama terdengar di tingkat elite. Namun, karena moratorium pemekaran, masyarakat relatif tidak mengikuti isu pemekaran ini sehingga terkesan proses pemekaran berlangsung supercepat. Hal ini memunculkan kekhawatiran dari masyarakat Papua, mulai dari kepastian hak-hak tanah ulayat mereka, hingga relasi migran dengan OAP. Masyarakat berharap proses ini lebih hati-hati. Diharapkan, pemekaran Papua ini tidak menciptakan persoalan baru. Semangat adanya otonomi khusus dan agenda besar dari pembentukan DOB adalah mendorong rekonsiliasi di Papua. Namun, sepertinya saat ini yang diprioritaskan adalah kebutuhan administratif dan teknokratif, bukan agenda besar untuk membuka proses rekonsiliasi konflik.