Pemerintah bakal mengurangi pupuk bersubsidi menjadi hanya dua jenis, yakni urea dan NPK, serta menyederhanakan jenis komoditas yang berhak mendapatkannya sebagai tindak lanjut atas rekomendasi Panja Pupuk Komisi IV DPR RI. Kementerian Pertanian dalam rapat dengar pendapat pada Februari 2022 menyatakan menerapkan pembatasan itu mulai Juli 2022. Sebelumnya, jenis pupuk yang disubsidi mencakup urea, NPK, SP-36, ZA, dan pupuk organik. Sementara komoditas yang berhak mendapatkannya mencapai lebih dari 70 jenis.
Kalangan petani mengkhawatirkan dampaknya pada kenaikan ongkos tanam, penurunan produksi dan produktivitas tanaman. Wakil Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Jawa Tengah Hardiono, mengatakan bahwa tanpa pembatasan (selama ini) pun petani selalu kekurangan. Di Grobogan, misalnya, urea hanya memenuhi 75 person dan NPK hanya 35 persen dari total e-RDKK (rencana definitif kebutuhan kelompok).
Selarna ini, petani menyiasati kebutuhan pupuk dengan membeli pupuk nonsubsidi dari swasta atau memakai pupuk organik. Namun, dengan harga jual gabah yang rendah serta harga pupuk nonsubsidi yang mahal, ada juga petani tanaman pangan yang beralih ke hortikultura karena dinilai menguntungkan. Siasat lain dengan mengurangi dosis pupuk hingga 25 persen. Misal kebutuhan pupuk seharusnya 1 kuintal dikurangi 25 kilogram. Dilematis juga karena produksinya berkurang, dari biasanya 8-10 ton per hektar, menjadi 7 ton.
Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Keadilan Pangan (KRKP) Said Abdullah mengatakan, input, termasuk pupuk, semestinya menjadi perhatian pemerintah dengan membangun skenario jangka pendek dan jangka menengah panjang. Seharusnya kita mampu membangun industri secara mandiri (tidak impor). Upaya mengembangkan pupuk organik juga belum optimal. Menurut Said, pupuk organik bisa dikembangkan dengan basis regional. Satu provinsi, terdata kebutuhannya berapa, lalu dikelola badan usaha milik daerah sehingga ekonomi sirkular bisa tumbuh.