Pemerintah diminta mewaspadai laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal bulan Juli yang mencatat Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Juni 2022 mengalami inflasi sebesar 0,61 persen secara bulanan atau month to month (mtm), sehingga secara tahunan inflasi IHK Juni sudah tercatat 4,35 persen. Inflasi yang sudah melampaui target tersebut dipengaruhi oleh peningkatan inflasi kelompok volatile food, utamanya beberapa komoditas hortikultura, seperti cabai, tomat, dan bawang.
Peneliti masalah sosial ekonomi di Swara Nusa Institute, Yogyakarta, Iranda Yudhatama, mengatakan untuk menyikapi ancaman krisis pangan dan energi, sudah seharusnya pemerintah menyiapkan contingency plan. Dalam bidang pangan, pemerintah sebaiknya mulai mengaktifkan kembali kebijakan dan program lumbung pangan berbasis desa dan komunitas sebagai bagian dari perwujudan ketahanan pangan. Sebisa mungkin perlu mengurangi kebergantungan terhadap impor bahan pangan. Mengupayakan ketahanan pangan lokal melalui Lumbung Pangan Masyarakat (LPM) merupakan salah satu bentuk resiliensi masyarakat/komunitas yang bisa dilakukan dalam menghadapi situasi krisis pangan.
Pakar pertanian dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Surabaya, Zainal Abidin, mengatakan untuk menghadapi krisis pangan, tidak ada jalan lain adalah dengan memiliki kemandirian dan kedaulatan pangan. Menurut Zainal, selama kebutuhan masih bergantung pada impor dari negara lain maka akan sulit untuk mencapai ketahanan pangan. Oleh karenanya, pemerintah ke depannya perlu mengeluarkan kebijakan-kebijakan di sektor pertanian dan perdagangan yang tidak merugikan para petani. Sementara Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listyanto, mengatakan pemerintah harus menjaga ketersediaan dan memeratakan sebaran pangan untuk menekan laju inflasi. Ketersediaan bahan makanan penting, jelasnya, mengingat penyebab inflasi dominan berasal dari komoditas cabai merah, cabai rawit, bawang merah, dan telur ayam ras.