Ekonomi AS tengah dihantam badai. Kenaikan harga energi dan pangan melejitkan inflasi, memukul daya beli saat penciptaan lapangan kerja masih sulit dicapai. Untuk meredamnya, The Fed memilih menaikkan suku bunga acuan hingga 75 basis poin, meski kebijakan ini diyakini kurang mempan untuk meredam inflasi.
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menyebut, ekonomi AS akan mengalami resesi tahun depan. “Saat ini, kekhawatiran masih terkait inflasi tinggi dan bisa berlanjut ke resesi ekonomi,” sebut David.
Indonesia tak imun terhadap efek potensi resesi AS. mencermati. Pertama, laju inflasi domestik berpotensi melonjak karena membengkaknya biaya impor bahan baku dan barang konsumsi. Kedua, melemahnya nilai tukar rupiah karena hengkangnya arus modal asing dari pasar keuangan Indonesia. Tekanan terhadap rupiah juga akan ikut menambah inflasi atau imported inflation. Ketiga, imbal hasil (yield) surat utang negara ikut meningkat dan berbanding terbalik dengan harga obligasi. Jika harga turun, berarti ada aksi jual di pasar obligasi. Keempat, dampak ke kinerja perdagangan internasional Indonesia ikut terganggu.
Karena itu, David berharap pemerintah menguatkan ekonomi domestik dengan berbagai kebijakan. Pertama, menjaga suplai pangan baik yang bersumber dari lokal mapun impor. Untuk lokal, harus dengan kerja sama antardaerah agar inflasi tidak naik tinggi. Kedua, menjaga daya beli masyarakat dengan memberikan subsidi atau bantalan sosial lain yang tepat, sasaran. Ketiga, Bank Indonesia (BI) harus menjaga inflasi dengan melakukan normalisasi likuiditas lewat peningkatan tarif giro wajib minimum serta menjaga kurs rupiah.