Komisi II DPR mengagendakan rapat dengar pendapat (RDP) dengan Kemdagri pada pekan depan. Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS, Mardani Ali Sera, mengatakan keputusan MK sudah jelas menyampaikan harus ada aturan pelaksana dalam pengangkatan penjabat kepala daerah agar bisa dilakukan secara demokratis dan transparan. Pemerintah pusat diharapkan melaksanakan rekomendasi dari MK tersebut. Aturan diperlukan karena situasi Pilkada 2024 akan terpengaruh. Penjabat kepala daerah yang diangkat tidak menutup kemungkinan menjadi kepala daerah. Proses ini tidak sehat dan membuat kondisi demokrasi menjadi sangat berat.
Peneliti Transparency International Indonesia, Alvin Nicola, menilai penunjukan penjabat kepala daerah yang tidak transparan dan tidak partisipatif, berpotensi melanggar undang-undang karena tak ada ruang bagi masyarakat menelaah rekam jejak calon dan mengabaikan masukan publik. Bahkan, tidak ada keterlibatan DPRD dalam penunjukan tersebut. Penjabat kepala daerah sangat rentan politisasi. Hal tersebut terlihat dari banyaknya pelanggaran netralitas ASN, yang berdampak secara internal dan berpengaruh pada kepentingan publik.
Peneliti Centra Initiative, Sajida Humaira, mengatakan prajurit aktif yang menempati jabatan sipil tidak bisa disamakan dengan ASN atau non-ASN yang menempati jabatan yang sama. Sebab, tugas dan kewajibannya sebagai prajurit TNI tetap melekat. Hal itu juga menunjukkan kontrol pemerintahan sipil masih lemah terhadap militer.
Fakultas Hukum Universitas Andalas, Charles Simabura, menambahkan perlu ada pembatasan wewenang bagi penjabat kepala daerah agar tidak mengambil keputusan yang justru menimbulkan ketidakpastian hukum. Perlu juga penegasan fungsi pengawasan hingga pemberhentian yang dapat diajukan oleh DPRD kepada presiden maupun Kemendagri.