Menteri Keuangan Sri Mulyani, mengungkapkan bahwa Indonesia turut mengantisipasi dampak invasi Rusia ke Ukraina. Konflik yang melibatkan kedua negara bekas Uni Soviet tersebut telah menyebabkan krisis energi dan krisis pangan. Menurut Sri Mulyani, Indonesia harus bisa mengurangi risiko terganggunya suplai (disruption supply), terutama dalam aspek makanan dan energi, baik dengan strategi APBN maupun non APBN. Disruption supply harus terus diantisipasi karena ini bukan krisis jangka pendek melainkan situasi krisis yang struktural di level global.
Adapun beberapa komoditas dalam kelompok pangan yang patut menjadi perhatian adalah kedelai, gandum, minyak goreng dan bawang merah. Sementara dalam kelompok energi. yakni BBM, listrik, dan LPG, gas alam serta batu bara. Invasi Rusia di Ukraina telah menyebabkan krisis pangan dan energi di sejumlah wilayah. Afrika misalnya, invasi Rusia telah memperparah kelaparan di Sahel, di mana para petani mengalami produksi pertanian terburuk selama lebih dari satu dekade. Hampir semua gandum yang dijual di Somalia berasal dari Ukraina dan Rusia, yang telah menghentikan ekspor mereka melalui Laut Hitam. Ukraina diketahui mengekspor lebih dari 95 persen gandum, gandum, dan jagung melalui Laut Hitam.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memperingatkan bahwa diperkirakan 13 juta orang menghadapi kelaparan parah di wilayah Afrika sebagai akibat dari kekeringan yang berkepanjangan dan akan semakin memburuk ketika musim paceklik tiba di akhir musim panas. Direktur Eksekutif WFP David Beasley menyebut kelaparan akut melonjak ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya dan situasi global terus memburuk. “Konflik, krisis iklim, COVID-19, dan melonjaknya biaya makanan dan bahan bakar telah menciptakan badai yang sempurna dan sekarang kita menghadapi perang di Ukraina yang menumpuk malapetaka di atas malapetaka” ujarnya. UNICEF bahkan memperingatkan kemungkinan naiknya biaya makanan terapeutik untuk anak-anak kurang gizi hingga 16 persen selama enam bulan ke depan karena perang di Ukraina dan gangguan terkait pandemi. “Afrika tidak memiliki kendali atas produksi atau rantai logistik dan sepenuhnya bergantung pada situasi ini,” kata Presiden Senegal Macky Sall, ketua Uni Afrika