Pertemuan negara-negara kelompok 20 (G20) harus jadi momen strategis bagi Indonesia sebagai tuan rumah untuk mengajak negara-negara ekonomi besar dunia agar berkomitmen mengatasi krisis global yang dihadapi saat ini. Co-Chair C20 (Civil Society Organizations) Indonesia, Aryanto Nugroho, mengatakan energi tidak hanya dipandang sebagai sebuah komoditas, tetapi juga menjadi faktor pertumbuhan ekonomi. “Forum G20 diharapkan menjadi titik transformasi pemim dunia dalam mewujudkan aksi ambisius terhadap perubahan iklim, khususnya melalui transisi energi,” kata Aryanto.
Saat ini, kebergantungan negara-negara G20 terhadap pemakaian energi fosil masih sangat tinggi, termasuk konsumsi gas yang sangat tinggi. G20 sebagai kelompok negara yang mendominasi sistem ekonomi global dan menjadi rumah bagi dua pertiga dari populasi dunia bertanggung jawab terhadap 78 persen emisi karbon global. Aryanto memastikan stabilitas energi dan ketahanan energi dalam jangka panjang juga menjadi bagian dalam melakukan transisi energi. Jadi, sebelum transisi energi, ketahanan energi termasuk stabilitas energi menjadi penting apalagi di tengah krisis Ukraina.
“Di satu sisi, para ilmuwan memberikan penilaian melalui IPCC Report tentang mitigasi perubahan iklim bahwa rata-rata emisi global tahunan mencapai nilai tertinggi sepanjang sejarah manusia dalam satu dekade terakhir,” ungkap Aryanto. Walaupun peningkatan emisi mulai melambat karena aksi perubahan iklim yang masif melalui penurunan harga panel surya dan teknologi pembangkitan listrik tenaga angin secara signifikan, namun upaya yang dilakukan saat ini masih sulit untuk mencapai target di bawah dua derajat Celsius. Bahkan diprediksi mencapai tiga derajat Celsius jika masih melakukan business as usual. Salah satu tantangan terbesar melakukan transisi adalah kebutuhan pendanaan dan memastikan transisi energi yang berkeadilan. Keadilan tidak hanya sebatas negara-negara G20, tetapi juga mendorong praktik usaha berkelanjutan bagi para pengusaha sehingga dapat memobilisasi dana investor ke dalam negeri terhadap teknologi hijau. Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyebut untuk menjadi negara industri tangguh maka kapasitas pembiayaan yang substansial, katanya, sangat diperlukan sehingga peran pembiayaan luar negeri menjadi penting, khususnya pada masa transisi.