Pandemi Covid-19 telah membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia terkontraksi 2,07% year-on-year (YoY) pada 2020. Implikasi dari kontraksi pertumbuhan ekonomi ini telah membuat tingkat pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan melonjak. Untuk mengatasi kemerosotan pertumbuhan ekonomi yang lebih dalam, maka pemerintah perlu melakukan kebijakan melawan siklus (countercyclical) melalui stimulus fiskal. Stimulus fiskal ini turut diperkuat oleh kaki-kaki kebijakan lainnya, yaitu kebijakan moneter dan makroprudensial (Bank Indonesia) dan kebijakan mikroprudensial (Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Koordinasi dan komunikasi yang baik antara pemerintah, otoritas moneter dan keuangan, serta pemangku kepentingan sangat dibutuhkan untuk memitigasi risiko-risiko yang bermunculan ini dan menghindari kebijakan yang tidak selaras.
Ekspansi kebijakan fiskal, makroprudensial dan mikroprudensial, serta akselarasi vaksinasi menjadi kunci bagi keberlanjutan pemulihan ekonomi Indonesia di tahun 2022. Adanya aktivitas mudik diharapkan akan merangsang masyarakat untuk berbelanja, khususnya masyarakat kelas menengah. Meski pemulihan ekonomi domestik sepanjang 2022 akan berlanjut dengan pertumbuhan ekonomi diperkirakan di level 4,7%-5,3% (versi Bank Indonesia), tetapi risiko baru juga telah mengadang. Jika risiko ini tidak dikelola dengan kebijakan yang tepat dan terukur, maka berpotensi memberikan pukulan balik pada proses pemulihan ekonomi ini.
Risiko pertama ialah invasi Rusia terhadap Ukraina telah memantik melonjaknya harga komoditas energi dan pangan. Invasi ini memberikan dampak berganda. Di satu sisi, lonjakan komoditas ini akan makin menebalkan surplus neraca perdagangan, mengingat Indonesia adalah produsen komoditas, khususnya batu bara, CPO, dan nikel. Namun, di sisi lainnya, Indonesia merupakan importir minyak dan gas (elpiji). Lonjakan harga minyak dan gas dunia membuat pemerintah harus menaikkan harga BBM jenis Pertamax dan gas elpiji 12 kg. Implikasi dari kenaikan harga komoditas energi dan bahan pangan ini akan meningkatkan risiko kedua, yaitu inflasi. Jika inflasi ini tidak dapat dikelola dengan baik, maka berpotensi menggerus daya beli masyarkat, khususnya masyarakat menengah bawah yang memang kondisi daya belinya baru pulih. Risiko ketiga adalah pengetatan moneter yang dilakukan oleh otoritas moneter di negara-negara maju untuk meredam lonjakan inflasi yang terus terjadi sebagai akibat kenaikan permintaan di tengah masih berlanjutnya gangguan rantai pasok (akibat invasi Rusia dan kebijakan zero policy penangangan Covid-19 di China). Untuk meredam tekanan inflasi ini, maka otoritas moneter di negara-negara maju, seperti AS (The Fed) makin mempercepat pengetatan kebijakan moneternya, baik melalui kenaikan suku bunga dan pengetatan likuiditas (quantitative tightening/QT).