Kepala Pusat Penerangan Kemendagri, Benni Irwan, mengatakan, hingga kemarin, Kemendagri belum mendapat salinan resmi putusan MK. Pada prinsipnya, Kemendagri akan memperhatikan apa yang sudah menjadi keputusan MK. Namun, hal itu harus dipelajari terlebih dulu sebelum menyampaikan tindaklanjutnya. Sementara itu, terkait dengan peringatan MK bahwa TNI-Polri aktif tak bisa menjadi penjabat kepala daerah, Kemendagri akan tetap merujuk aturan perundang-undangan yang ada. Artinya, penjabat kepala daerah itu harus berasal dari Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Madya atau JPT Pratama.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P, Junimart Girsang, mengatakan putusan MK tersebut bersifat final dan mengikat sehingga tidak perlu ada perbedaan tafsir lagi. Untuk itu, semua pihak harus tunduk terhadap putusan itu, begitu pula pemerintah. Diharapkan pemerintah, dalam hal ini Kemendagri, dapat bergerak cepat karena gelombang pertama penjabat kepala daerah akan mulai bertugas pada pertengahan Mei 2022. Guru Besar IPDN, Djohermansyah Djohan, juga menilai Kemendagri harus mematuhi putusan MK. Putusan tersebut wajib dipedomani sebagai bagian dari ketaatan pada hukum.
Regulasi turunan dalam penunjukan penjabat ini, dapat memuat tahapan dan mekanisme detail mengenai ASN yang nanti akan ditunjuk menjadi penjabat kepala daerah. Semua itu, perlu diatur soal asesmen bagi para penjabat kepala daerah. Asesmen ini dianggap tidak menabrak undang-undang yang ada karena bertujuan untuk mengedepankan akuntabilitas dan asas-asas pemerintahan yang baik. Mekanisme penunjukkannya harus dibuat transparan, demokratis, terbuka, akuntabel, serta ada keterlibatan publik. Ia menyarankan agar dalam penunjukan penjabat nanti melibatkan tim panitia seleksi (pansel). Tim pansel itu tak hanya melibatkan pihak pemerintah, tetapi juga pihak-pihak independen, seperti akademisi.