Pemerintah memperkirakan kenaikan harga atau inflasi akan mencapai level 4 persen pada 2023 mendatang. Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu), Suahasil Nazara, dalam Rapat Koordinasi Pembangunan Pusat (Rakorbangpus) 2022 yang berlangsung di Jakarta, Kamis (21/4), mengatakan inflasi itu seiring dengan pemulihan ekonomi dan kenaikan harga pangan akibat krisis geopolitik. Pemulihan ekonomi Indonesia saat ini terus berlanjut, namun masih terdapat dampak luka atau scarring effect dari pandemi Covid-19 yang menyebabkan dunia usaha masih membutuhkan waktu untuk menyiapkan kapasitas produksi kembali seperti sebelum pandemi. Scaring effect itu menyebabkan peningkatan inflasi yang harus ditangani agar harga yang naik tidak terlalu tinggi, sehingga tidak menghambat pemulihan ekonomi.
Terjadinya ketegangan geopolitik Rusia dan Ukraina telah menyebabkan harga berbagai komoditas global pun naik signifikan, seperti gas alam, batu bara, minyak mentah, hingga minyak kelapa sawit (CPO) dan memiliki dampak ke dalam negeri. Kenaikan harga CPO dunia pun justru meningkatkan harga minyak goreng di Indonesia sehingga Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus menjadi shock absorber. Pemerintah terpaksa kembali menganggarkan subsidi minyak goreng untuk menjaga daya beli masyarakat, terutama segmen bawah. Selain di Indonesia, inflasi juga sudah meningkat bahkan lebih tinggi di Eropa, Amerika Serikat, Jerman, dan Inggris.
Pengamat Ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko, menyebut jika inflasi naik tinggi, nilai riil upah akan turun yang berakibat daya beli akan turun. Kenaikan harga minyak goreng, misalnya, yang disusul dengan ditangkapnya pejabat dan pengusaha menunjukkan memang masih ada yang lemah dalam pengelolaan perdagangan pangan nasional. Yang diharapkan masyarakat adalah kepemimpinan yang kuat untuk melalui tantangan dunia dalam ketidakpastian akibat perang Rusia-Ukraina menyusul pandemi yang belum tentu berakhir.