Tren peningkatan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dalam negeri yang tidak diimbangi dengan produksi minyak nasional menyebabkan beban subsidi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk biaya impor energi terus bertambah. Peneliti Ahli Utama dari Pusat Riset Ekonomi, Badan Riset, dan Inovasi Nasional (BRIN), Maxensius Tri Sambodo, mengatakan subsidi yang terus naik kalau tidak dikendalikan bisa lebih parah. Subsidi energi, termasuk listrik, estimasi angkanya tinggi sekali, meskipun benefit-nya bisa meredam inflasi, kemiskinan, pengangguran. Kondisi ini, memang dialami banyak negara termasuk RI yang mencoba meredam dampak global tingginya harga minyak.
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperlihatkan realisasi subsidi energi pada 2021 mencapai 131,5 triliun rupiah, naik 19 persen dari target yang hanya sebesar 110,5 triliun rupiah. Pemerintah menyebutkan kenaikan subsidi energi disebabkan pemerintah berupaya menjaga daya beli masyarakat dalam pemulihan ekonomi. Lonjakan signifikan berasal dari subsidi BBM dan LPG yang mencapai 83,7 triliun rupiah dari target awal 56,9 triliun rupiah, sedangkan subsidi listrik turun jadi 47,8 triliun rupiah dari target 53,6 triliun rupiah. Bila dibandingkan 2020, realisasi subsidi energi pada 2021 melonjak 37,4 persen dibanding realisasi subsidi energi pada 2020 sebesar 95,7 triliun rupiah.
Pengamat Ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Bambang Budiarto, mengatakan konsep dasar subsidi BBM dari sisi supply pasti membebani anggaran, namun dari demand side, subsidi sangat ditunggu masyarakat. Subsidi BBM, akan lebih baik jika melekat pada orang, bukan pada barang. Jika melekat pada orang, pemberian subsidi dipastikan tepat sasaran. Sebaliknya, kalau yang disubsidi barang, sangat rentan melahirkan masalah baru yakni salah sasaran.