Kebijakan insentif kedelai, berupa pembayaran selisih antara harga pasar dan harga yang diterima perajin, berpotensi tidak efektif meredam kenaikan harga. Kebijakan yang bersifat jangka pendek ini tidak mengatasi persoalan yang ada di hulu, yaitu produktivitas. Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Aditya Alta menerangkan, tujuan subsidi disebutkan sebagai intervensi jangka pendek untuk melindungi produsen tahu dan tempe ketika harga pasokan kedelai internasional naik. Namun implementasinya mungkin mengalami kesulitan sehingga bisa jadi tidak akan efektif. Faktor pertama yang membuat pemberian insentif tidak efektif adalah terkait target penerima, ketersediaan data yang akurat, dan mekanisme pemberian. Terdapat banyak pelaku dalam rantai pasok kedelai, mulai dari petani, importir, pengrajin tahu dan tempe, pedagang, hingga konsumen akhir.
Aditya menerangkan, kenaikan harga kedelai impor kali ini juga memberikan peluang bagi petani untuk menanam kedelai, untuk mendapatkan margin yang layak. Dalam situasi normal, petani cenderung enggan melirik kedelai karena tidak mampu bersaing dengan harga kedelai impor. Harapannya, melalui mekanisme pasar, meningkatnya suplai kedelai dari dalam negeri ini akan mampu menekan harga. Namun kedelai lokal hanya menyumbang 10% suplai kedelai Indonesia, sehingga harapan untuk melakukan swasembada masih sangat jauh. Rendahnya produktivitas kedelai dalam negeri merupakan sesuatu yang belum mampu diselesaikan selain keterbatasan lahan dan kecocokan cuaca yang mendukung tumbuh suburnya kedelai,