Pelaku industri tekstil menolak pengesahan perjanjian dagang Indonesia-Bangladesh PTA (preferential trade agreement). Pasalnya, kerja sama ini akan membuat keran impor bagi produk asal Bangladesh, termasuk tekstil, terbuka lebar. Pengusaha khawatir produk tekstil impor tersebut akan menguasai pangsa pasar di Indonesia. Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) David Leonardi mengungkapkan, hal itu akan menciptakan persaingan tidak sehat. Indonesia dan Bangladesh memiliki level of playing field (tingkat kesetaraan usaha) yang berbeda. Industri tekstil Bangladesh dinilai lebih unggul karena biaya produksi, energi, logistik, serta upah dan aturan tenaga kerjanya lebih kompetitif.
Dari sisi volume ekspor, volume garmen Bangladesh juga enam kali lebih besar dibanding volume ekspor garmen Indonesia. Lebih rinci, upah minimum di Bangladesh sebesar 8.000 taka atau setara dengan Rp 1.338.099,36. Kemudian, harga gas di sana sebesar 9,8 taka/m3 atau jika dikonversikan sebesar US$ 3,22 per MMBTU, dan tarif listriknya sebesar US$ 0,10 per kWh. Biaya gas dan listrik itu pun belum termasuk insentif dari pemerintah. Dengan demikian, biaya yang dibayarkan oleh perusahaan menjadi lebih murah. Adapun, secara geografis, Bangladesh lebih dekat dengan Cina. Bahan baku dapat dikirim melalui jalur darat dengan biaya yang lebih murah.
Semua faktor tersebut kian memperkuat daya saing produk garmen Bangladesh, yang menjadikan negara tersebut sebagai eksportir pakaian jadi terbesar kedua di dunia setelah Cina, dengan nilai ekspor tahun lalu mencapai US$ 36,13 miliar. Sementara itu, nilai ekspor Indonesia hanya seperenam dari angka tersebut, yakni sebesar US$ 6,98 miliar. Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konfeksi Bandung (IPKB) Nandi Herdiaman menyebut, jika perjanjian Indonesia-Bangladesh PTA berlaku, geliat industri garmen skala kecil dan menengah akan kembali terganggu. Terlebih, industri konfeksi saat ini masih belum pulih akibat pandemi Covid-19.